PELAKITA.ID – Saya merasa beruntung bisa berpartisipasi pada Focus Group Discussion atau FGD dengan tema Mainstreaming Isu Bencana Banjir dan Longsor di Sulawesi Selatan yang diselenggarakan oleh Majelis Wilayah KAHMI Sulsel, Sabtu, 27/8/2024.
Pembaca sekalian, saya bertekad hadir bukan hanya saya salah satu pengurus MW KAHMI Sulsel, tetapi karena tema yang didiskusikan menarik dan relevan dengan kondisi kekinian di Sulsel. Khususnya daerah sekitar Latimojong Kabupaten Luwu.
Kawasan itu, baru beberapa bulan lalu dilanda longsor dan menjadi hulu dari Sungai Suso yang mengalami banjir besar.
Sebagai yang lahir dan besar di daerah tersebut, Saya hadir dan ikut memberikan tanggapan dengan menggambarkan kondisi yang ada sebelum dan setelah hadirnya perusahaan tambang di sana.
Apa yang saya sampaikan itu sesuai pula dengan penjelasan Dr Ilham Alimuddin, dosen Geologi FT Unhas.
Kepala Puslitbang kebencanaan Universitas Hasanuddin itu dalam pemaparannya menyampaikan bahwa longsor dan banjir yang baru-baru terjadi di Latimojong, selain curah hujan tinggi juga karena kondisi litologi di Kawasan Latimojong.
Litolologi, dengan penjelasan sebagai yang mengandung granit atau batuan Kambuno yang mudah lapuk.
“Selain itu kondisi geologi dimana adanya patahan Palukoro, dan Matano yang sampai atau melewati kawasan Latimojong,” ujarnya.
Menurut Ilham, kondisi geologi ini membuat terjadi goyangan walau dlm skala kecil, yang makin membuat rentan terhadap longsoran.
Sementara dari sisi hidrologi, menurut Dr.Usman Arsyad yang merupakan ketua Forum DAS Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu, khususnya kawasan Latimojong mengalami curah hujan yang tinggi karena sifat angin yang melewati daerah tersebut.
Jadi, kondisi litologi, geologi dan hidrologi inilah membuat kawasan Latimong sangat rentan terhadap bencana alam.
Karena itu menurut Suwardi Buhari, S.TP dari P3E (Pusat Pengendalian dan Pembangunan Ekoregion) Sulawesi Maluku, hasil penelitian kajian pihaknya merekomendasikan tidak boleh ada aktivitas tambang di kawasan Latimojong.
Disebutkan, karena kehadiran aktivitas tambang dan atau aktivitas lain yang merusak lingkungan akan mempercepat dan memperbesar terjadinya bencana.
Saat ini salah perusahaan tambang yang disebut intens beroperasi di sana adalah Masmindo, atau lengkapnya, PT Masmindo Dwi Area (MDA). Dari laman sittus mereka disebutkan, perusahaan ini erdedikasi untuk menjadi produsen emas Indonesia berikutnya melalui pengembangan Proyek Awak Mas. Proyek Awak Mas berlokasi di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Poin yang disampaikan di atas lantaean adanya ‘aktivitas tambahan yang menekan’ sebagai penyebabnya.
Misalnya, ada Masmindo di daerah Latimojong dan memperoleh 14 ribu hektar untuk dikelola.
Ada tekanan hebat pada lingkungan dan masyarakat setempat mulai mencari lahan mata pencaharian baru. Belum lagi masuknya sejumlah pengusahaan tambang yang mengambil ruang hidup masyarakat, termasuk penambang tanpa izin.
Sementara itu, diperoleh informasi bahwa P3E sebagai organisasi yang berada di bawah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan hidup telah mengusulkan agar Kawasan Latimojong dijadikan Taman Nasional Gunung Latimojong (Gulat).
Tujuannya jelas, untuk menjaga dari terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih besar serta menjaga kelestarian tanaman dan hewan endemik yang ada di kawasan Gunung Latimojong.
Dari Walhi Sulsel pun berkesimpulan bahwa longsor dan banjir yang baru-baru terjadi di Kabupaten Luwu dimana 70 persen disebabkan aktivitas tambang dan 30 persen karena kegiatan sosial ekonomi penduduk.
Pembaca sekalian, mereka semua, para narasumber itu berkesimpulan tidak boleh ada aktivitas tambang dalam kawasan Gunung Latimojong.
Alasannya jelas demi menghindari bencana alam yang lebih besar. Kita tentu tidak ingin mengulang lagi bencana dahsyat beberapa waktu lalu yang berlaku masif, bukan hanya di Luwu Raya tetapi sampai Sidrap, Wajo, Enrekang hingga Tana Toraja.
Itulah yang harus kita terus perjuangkan, agar tak lengah, agar tak berlebihan mengeksploitasi alam demi keuntungan sesaat dan mengorbankan masa depan kita semua.
Sekali lagi, seperti terekam dalam proses FGD, mereka menyarankan agar tidak ada aktivitas pertambangan di hulu sungai, di kawasan Latimojong. Perwakilan Pemerintah, aktivis LSM, akademisi, semua menyerukan jangan ada aktivitas tambang di hulu atau bahu Latimojong
Begitulah, semoga, diskusi-diskusi seperti ini menjadi perhatian pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Bukan sekadar mengejar nilai investasi tapi jauh lebih penting mempertimbangkan dampak negatifnya dan peduli keberlanjutan fungsi ekologi di sana.
Editor Denun