Terkait PP 26/2023, direspon Iskindo dengan menggelar webinar Ada Apa dengan Sedimentasi di Laut. DPP Iskindo akan membuat dua kali public policy forum.
PELAKITA.-ID – Organisasi Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) menggelar webinar sebagai respon atas polemik terbitnya PP 26/23, Sabtu, 10/6.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Pokok persoalannya, ada pasal yang mengizinkan ekspor pasir laut ke luar negeri. Padahal, ekspor pasir ini pernah dilarang selama 20 tahun dan kini dibuka lagi. Banyak pihak yang mempertanyakan.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 ini tentu saja bukan hanya tentang ekspor pasir laut. Seperti namanya, peraturan in adalah tentang pengelolaan sedimentasi di laut dan pasir adalah salah satunya.
Intinya, laut kita mengalami pendangkalan karena pengendapan berbagai bahan yang jika dibiarkan akan dapat menghambat lalu lintas di laut. Ini yang ingin dikelola melalui PP No 26/2023 ini.
Nah, itu pula alasan mengapa Iskindo menggelar webinar ini. Sejumlah pembicara hadir seperti guru besar eko-sedimentologi Unri Prof Rifardi, akademisi IPB Dr Alan Koropitan.
Hadir pula akademisi Universitas Bangka Belitung, Dr Sudirman Adibrata, Rektor Umrah Kepri Prof Agung Damar Syakti hingga Suharyanto, M.Sc dari Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP.
Pelakita.ID yang hadir dalam webinar tersebut mencatat sejumlah poin penting yang disampaikan ketua umum ISKINDO, Dr M Riza Damanik saat memberi sambutan.
Selain mengingatkan bahwa pelaksanaan webinar bertepatan dengan sewindu kelahiran Iskindo, dia juga menyebut bersamaan waktunya dengan perayaan Hari Kelautan Sedunia.
“Penting menjaga semangat kita, sebagaimana kita sepakat di masa mahasiswa Kelautan pada saat itu, bahwa agenda pembangunan kelautan tak semata sumberdaya tetapi penguatan sumberdaya manusia,” ucap Riza yang pernah kuliah Ilmu Kelautan di Unhas tahun 1998 dan meraih gelar Strata Satu Ilmu Kelautan di Undip Semarang ini.
Menurut Riza, bersama para senior (Kelautan), sejak awal hadirnya iskindo, adalah sebagai satu wadah memperkuat dan mematangkan agenda pembangunan kelautan dan agar lebih baik dan maju bagi masyatrakat Indonesia.
Terkait PP 26/2023, yang direspon oleh Iskindo dengan menggelar webinar Ada Apa dengan Sedimentasi di Laut kali ini, dia dan sejumlah kolega di DPP akan membuat dua kali public policy forum.
“Kali ini secara spesifik tekait dengan sedimentasi maupun dengan pasir laut dan tema kedua nanti akan mengundang sejumlah pihak terkait langsung dengan public policy,” janjinya.
Asesmen Iskindo
Riza mengungkapkan sejak tahun lalu, Iskindo telah melakukan asesmen.
“Jauh hari, tahun lalu, mengikuti dan melihat, melihat indeks kesehataan laut Indonesia, ocean health index, dan pembagunan ekonomi biru Indonesia, bahwa kondisi laut Indonesia tidak sedang baik-baik saja, ini penting untuk diketahui bersama,” ungkapnya.
Maka, lanjut Riza, tentu untuk menjaga performansi kesehatan laut, pada indeks ekonomi biru, perlu memberikan perhatian.
“Mengapa penting mendapatkan perhatian, karena kita membicarakan the last resources yang kita punya,” tegas penulis buku Menggerakkan Poros Maritim ini.
“Di darat, hutan, pertambangan, puluhan tahun setelah masa Orde Baru dikikis habis, dimanfaatkan sesar-besarnya, banyak tersisih, kemiskinan, kerusakan lingkungan, segala daya upaya untuk memperbaiki dampak pertambangan,” jelasnya.
“Hari ini saya kira, kita punya sumber daya kelautan, penting juga untuk kita jaga merujuk ke indeks yang mengalami penuruban cukup signifikan,” tambahnya.
“Ocean Health Index tahun 80 itu idealnya, tahun-tahun sesudahnya tidak lebih baik maka kita penting menjaga sumberdaya tersebut supaya bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan dan bisa diwariskan ke ke anak cucu, sebagai modalitas unggul ke depan,” lanjut staf ahli Menteri Koperasi dan UMKM ini.
Tentang sedimentasi
Riza mengungkapkan, bagi sarjana Kelautan, dosen, guru, pelajaran tentang sedimentasi itu adalah mata kuliah khusus bahkan pada tingkat lanjutan.
“Pada bahan peneliain terkait itu, kita mengenal ada yang disebut tolerable erotion atau sedimentasi yang bisa ditoleransi,” ungkapnya.
“Pada kondisi tertentu, dapat dipahami sebagia sesuai yang dinamis, alamiah sehingga posisinya sangat dinamis, mulut sungai, agak terbuka dan tertutup dan berubah lagi,” katanya.
Dalam situasi semacam itu, sebut aktivis Walhi dan Kiara pada masanya ini, sebagai yang sesuai di alam, dalam kondisi tertentu, pada sedimentasi bisa dipahami sebagai indikator kesehatan lingkungan yang menentukan.
“Apakah kondisi lingkungan ekstrem,” imbuh dia.
“Kondisinya baik atau tidak, kalau mengalami kelebihan supply sehingga fungsi ekologi terganggu bahwa kondisi lingkunagn tdiak baik-baik saja, di Pantai Utara Jawa tidak baik-baik saja,” tambahnya.
“Saya ingin mengatakan sedimentasi tidak dibisa dilihat sebagai komoditi ekonomi saja, tidak boleh juga harus dilihat sebagai indikator kesehatan lingkungan tetapi kita perlu tahu apa itu sedimentasi, dan apa itu pasir laut,” ucapnya.
“Bagaimana fungsi ekologinya sehingga bisa dijaga dengan baik,” lanjut Riza.
“Untuk kebijakan harus dijaga kemurnian sesuai konstitusi kita untuk kemakmuran rakyat,” terangnya.
Dia menyebut ada empat harapan mahkamah konsitutusi terkait pemanfaatan itu.
“Pertama adalah azas kemanfaatan, sumber daya alam bagi rakyat, pemanfaatan atau pemerataan bagi rakyat, kedua partisipasi rakyat dan menentukan manfaat sumber daya dan penghormatan hak rakyat secara turun temurun,” jelasnya.
“Di sinilah kebijakan dan keilmuan kita harapkan memperkuat substansi kebijakan kita, agar tidak jalan di tempat apalagi mundur ke belakang,” harapnya.
Dia menyebut ada banyak pihak yang bisa menjelaskan sedimentasi laut melalui diskusi yang digelar Iskindo, seperti guru Prof Rifardi, akademisi Dr Alan Koropitan, Dr Sudirman Adibrata, Prof Agung Damar Syakti hingga Suharyanto, dari Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP.
“Kita perlu pemahaman utuh dan mengkerangkakannya untuk pengelolaan sumber daya kelautan agar kita lebih baik dan sejahtera,” kuncinya.
Penulis: K. Azis