Pelakita.ID membagikan pengalaman, kisah-kisah dari pulau-pulau beranda depan NKRI. Tujuannya untuk memberi asupan informasi tentang geliat, daya tahan, realitas sumber daya alam, norma sosial dan kelembagaan maritim yang ada. Kali ini dari Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau.
PELAKITA.ID – Pria asal Sulawesi Tenggara itulah yang membuat Fatimah, gadis manis asal Pulau Belibak, Kepulauan Anambas jatuh hati. Tak butuh waktu lama untuk kemudian mereka menikah di sekira tahun 80-an.
“Dia dulu jual beli ikan, tinggalnya di bapak haji sini,” kata Fatimah dengan senyum tipisnya.
Siang itu, Fatimah bercerita tentang perkenalannya dengan pria dari pulau di lekuk Sulawesi itu. Itu dia cerita ketika tahu saya dari Sulawesi.
Menurut Fatimah, tahun 70-an, dia sudah melihat betapa banyaknya pedagang ikan tongkol asal Jakarta yang yang datang ke Belibak —lambat laun terkuak sebagai Suku Bugis, Makassar dan Buton.
“Waktu itu banyak yang datang. Sebagian tinggal di kampung sini,” kata Fatimah saat ditemui di timur Belibak.
Pernikahannya dengan La Asa memberinya tiga orang anak. Ada yang tinggal di Jakarta, Riau dan Tarempa.
Kesedihan mendera Fatimah ketika dia mendengar kabar La Asa menghembuskan napas terakhir di perairan Papua beberapa tahun lalu, tidak lama setelah La Asa menikmati santap siangnya.
“Ada yang bilang kena jantung,” kata Fatimah sembari menoleh ke laut jauh.
RANTAU
Kami pelaut.
Kami kadang kalut.
Kadang digoda takut.
Tapi kami tetap berkiat.
Sebab pada rindu nan akut,
Selalu bikin kuat.
Monyet Teluk Butun
Di bulan Oktober 2017 yang berangin, bersama beberapa kawan, kami melakukan riset perikanan di Anambas, Kepri. Salah satu titik yang kami kunjungi adalahTeluk Butun yang masuk Desa Tarempa Timur.
Nama Teuk Butun mengingatkan saya pada para pelaut Buton yang nun lampau acap menepi di teluk ini ketika hendak menuju atau balik dari Batam atau Singapura.
Tapi kali ini saya tidak bicara bagaimana pelaut-pelaut itu di sana. Saya ingin berbagi kabar tentang interaksi antara monyet-monyet di sekitar kampung pesisir bernama Teluk Butun itu.
“Jumlah mereka banyak sekali pak, sering masuk ke kebun-kebun yang kita buka,” kata Ahmad, nelayan setempat.
Dari dia pula saya mendengar cerita kalau sesekali dia berburu monyet bersama anaknya.
“Harus jalan kaki, naik ke bukit, kira-kira sejam,” katanya.
Ada beragam cerita dari Ahmad tentang pulaunya, tentang aktivitasnya sebagai pekebun sekaligus pekebun tapi saya menaruh perhatian pada monyet ini yang terihat sangat ‘nyaman’ dan bermain dengan anak Ahmad bernama Agus.
“Diambil karena ditinggal induknya,” kata Agus.