PELAKITA.ID – Setelah membantai Pelakita (in-casu Kamaruddin Azis Dg. Nuntung) , MenitIndonesia (idem, Akbar Endra) Kak Mul (KM) kini mulai mengulik Herald.
Sejauh yang saya lihat KM hampir selalu mendekati (approach) dengan elemen-elemen Jurnalisme-nya Kovach dan Rosenstiel.
Pendekatan ini tidak salah tetapi kurang cukup untuk kemudian KM menjatuhkan palu vonis penilaian pada media-media yang dibantainya. Yang, hampir selalu, negatif. Orang Hukum bilang Onvoldoende Gemotiveerd.
“Hakim” KM menjadi hakim yang tidak bisa didekati dengan argumen hukum apa pun, pula meski itu oleh pengacara kaliber besar.
Kovach dan Rosenstiel (kita singkat saja KoRo) dalam Elemen-nya menitikberatkan pada jurnalis/wartawan.
Lebih kepada (bagaimana) sikap profesi-onal seorang wartawan.
Kewajiban jurnalis pada kebenaran. Loyalitas kepada warga. Disiplin verifikasi. Dan seterusnya.
KoRo tidak begitu menekankan pada media-nya.
Jaman telah berubah. Teknologi terus berkembang. Yang pada masa kejayaan KM sebagai jurnalis ada batas yang sangat jelas antara jurnalis dengan media-nya, kini batasan itu telah kabur.
Kalau tidak ingin menyebutnya “tidak ada lagi”.
Kalau dulu KM adalah jurnalis Tempo, dia adalah (sekadar) jurnalis.
Dia bukan media Tempo itu sendiri. Dia tidak sama dengan Goenawan Mohammad. GM adalah Tempo. Dan KM bukan GM.
KM hanya pekerja-nya media Tempo. GM adalah pemberi kerja. Majikan.
Kenapa demikian? Karena yang bikin Tempo adalah GM. Duitnya duit (atau lewat) GM. Dan itu duit besar.
Apa tah lagi saat harus menyikurlasikan media Tempo itu ke seantero nusantara. Wajib duit besar, dan, manajemen.
Dengan perubahan zaman dan perkembangan teknologi, seorang Daeng Nuntung bisa membuat dan memiliki MEDIA dan memasok konten untuk medianya itu.
Pelakita adalah Nuntung. Nuntung adalah Pelakita. Idem ditto Akbar dengan Menit-nya. Tak soal KM bilang dia tomi direkturnya, dia tomi pemrednya, dia tomi jurnalisnya. Dia tomi juru foto.
Mereka-mereka ini di era baru ini sudah setara dengan GM-Tempo. Uang bensin (mobil) yang kita bakar untuk 2 minggu sudah cukup untuk bikin mereka pada posisi itu.
Satu saja peristiwa seorang pejabat lari telanjang dikejar istri dari dalam sebuah penginapan mereka “capture”, media mereka akan didatangi khalayak. Sirkulasinya bisa sampai Kremlin dan Gedung Putih.
Saya coba menawarkan pendekatan lain yang mungkin bisa digunakan untuk lebih fair menilai Pelakita, Menit Indonesia, Herald, dan lain sejenisnya. Dan bisa digunakan untuk menatap (visioning) per-media-an ke depan.
KM saya yakin tahu tapi mungkin tidak memilih menggunakannya: the Agenda-setting Function of Mass Media. Kita singkat saja Asfom.
Asfom ini dikembangkan oleh Mccombs and Shaw dengan mengambil momentum Pilpres AS 1972.
Mereka sampai pada simpulan: Dalam memilih dan menampilkan berita, para editor, staf redaksi, dan media-pelaku memainkan bagian penting dalam membentuk realitas politik.
Khalayak tidak hanya sekedar tersajikan isu, tetapi juga seberapa pentingnya isu tersebut terpatri pada mereka tergantung dari jumlah informasi yang disajikan dalam lini berita dan bagaimana penempatannya.
Dalam merefleksikan apa yang dikatakan para kandidat saat kampanye, media-massa dapat menjadi penentu isu-isu pentingnya yang mana –dengan demikian, media dapat menge-set “agenda” dari kampanye itu.
“In choosing and displaying news, editors, newsroom staff, and broadcasters play an important part in shaping political reality. Readers learn not only about a given issue, but also how much importance to attach to that issue from the amount of information in a news story and its position. In re-flecting what candidates are saying during a campaign, the mass media may well determine the important issues—that is, the media may set the “agenda” of the campaign”.
(Paper dapat ditelusuri di internet).
Kita lepaskan referensi empirik Pilpres AS yang dipetik Mccombs & Shaw. Simpulan mereka atas kekuatan “Agenda-setting” terbukti berlaku menembus zaman, dan “applicable” apa pun momentumnya.
Tidak soal bidang politik, sosial, kesehatan, keteknikan, you name it… Agenda-setting adalah kunci.
Bahkan ini barang pula yang melibas media-media besar yang telah ada, yang terlambat menyadari aplikasinya.
Nuntung dengan kuasanya atas Pelakita bisa memilih penempatan isu DR Sakka Pati yang giat mendampingi Danny Pomanto melantik IKA Unhas Subwilayah ke mana-mana.
Pada lini berita, Nuntung tempatkan itu pada lini utama (headline) dan dia pertahankan lama sebagai itu. Jumlah (ammount of) informasi menyangkut isuvitu pun dia perbanyak.
Khalayak yang mengunjungi Pelakita akan menerima itu sebagai realitas. Dan, bisa jadi terpengaruh. Apalagi saat Nuntung, sesuai dengan agenda pengutamaan yang dia pilih, menyeleksi dengan baik mana kalimat Danny Pomanto dan DR Sakka Pati yang perlu dimuat, mana yang harus dibuang ke laut.
Foto yang ditampilkan, pun, DR Sakka Pati yang senyum riang gembira, sebagaimana khasnya beliau -yang saya lihat dalam beberapa emoticon di grup ini.
Kalau ada keberatan, atau pujian, jalur respons KM hanyalah “SdP”. Surat dari Pembaca.
Nuntung bisa memilih tempat lain, bukan di front page, menyajilan SdP ta’. Kalau itu omelan. Dan dia tarik setelah 1 hari tayang. Dia pasang di front page berhari-hari, kalau itu pujian.
Dalam skop yang lebih luas, kehadiran smartphone sejak 2000-an awal tanpa banyak yang menyadari telah mengambil alih peran penempatan lokasi sebuah informasi/berita.
Karena desainnya. Dari media yang sama apa yang ditampilkan layar Blackberry tidak sepenuhnya sama letak dengan di layar Nokia Communicator.
Asfom secara tersirat telah memproyeksi hal itu.
Tingkat pentingnya sebuah isu (level of importance) menjadi relatif di antara para pengguna smartphone yang berbeda platform.
Belum lagi, saat itu, pabrikan smartphone dari sononya membenamkan akses atau autolink ke media (internasional) tertentu saja.
Media-media besar menyadari ini dengan bersusah payah membuat “launcher” sendiri-sendiri, yang akan mempertahankan penampakan sesungguhnya atau “set of appereance” mereka di layar khalayak.
Kembali ke bumi. Sebagai saran. Memetik juga dari calla calla KM terhadap Pelakita (dan Menit). Bahwa, walau pun untuk menjadi setara GM dengan Tempo-nya sudah gampang di jaman yang baru ini, para GM baru harus bersiap menanggung “kesuksesan-dalam-waktu” singkat yang mereka dapatkan. Yaitu penambahan staff (dan gaji), peralatan (re-investasi), pembesaran kapasitas hosting dan bandwidth internet (bayar lebih).
Karena, khalayak media online selalu menginginkan hal baru.
Rame hari ini belum tentu rame kemarin.
Sunyi besok wajib rame lusa. Selanjutnya harus rame terus.
Ditangani satu dua orang, bulan depan beritanya self-news pemred sedang dirawat di rumah sakit. Pada saat yang sama, Tempo 5 kali berganti isu dan GM sedang menikmati sauna di Honolulu, Hawaii.
Penulis: Canny Watae, konsultan media