Sucer, bukankah ini titik inspiratif yang harusnya bisa merangsang Pemkot dan Pemerintah daerah lainnya untuk ‘memenuhi’ segala hasrat keekonomian tumbuh di sana?
PELAKITA.ID – SUNGAI Cerekang atau Sucer yang saya kenal dulu adalah titik di barat sekolah menegah atas dimana saya sekolah di tahun 86 hingga 89.
Lambat laun, di tahun 90-an hingga awal 2000-an, saya sering ke sini karena ada toko rumahan penyedia alat selam. Pokoknya, kalau mau beli mask, fins, snorkle, ke sini saja.
Di sepanjang tahun 2000-an, diam-diam Sucer bertransformasi sebagai ‘pusat kulineran Sarabba’ yang terkenal dan digandrungi warga kota dan tetamu jauh. Hingga kini.
Malam itu, di malam Jumat, pertengahan tahun lalu, sembari menunggu sarabba pesanan datang saya menyesap geliat di Jalur Sungai Cerekang ini.
Kesimpulan awal adalah, hingga kini, saban malam di Sungai Cerekang, terhampar kesederhanaan sajian kuliner sekaligus kemegahan yang mengalir atas nama kebersamaan warga dan pendatang.
Wajah yang harusnya bikin bangga bahwa warga kota bisa berkembang maski hanya berbekal ‘jahe dan gula merah’.
Sarabba, yang selama ini kita kenal sebagai minuman hangat perpaduan gula merah, jahe dan santan telah bertransformasi menjadi minuman perintis bertahtanya ubi dan pisang goreng.
Sajian menjadi istimewa manakala disiapkan pula sambal ingus, sambal encer yang rasa garamnya mendominasi sengat cabe.
Di Sucer, bukan hanya jadi panggung ubi, pisang, gula merah, santan dan jahe bertahta tetapi juga telur ayam, merica hingga garam menjadi pencipta sensasi, tentang kenikmatan kolaborasi aneka rupa sumber daya.
Ubi dan pisang bisa jadi datang dari Maros, Pangkep hingga Pinrang. Lalu gula merah dari Takalar dan Jeneponto. Santan dari kelapa-kelapa yang melambai di pulau-pulau jauh Selayar. Jahe mengalir dari Tanah Luwu atau Enrekang.
Telur ayam? dari kampung-kampung pedalaman di Gowa, Bantaeng hingga Bulukumba. Merica dari Luwu Timur serta garam dari Jeneponto.
Begitulah, tidak kurang 10 warung yang berdenyut di ruas jalan Kota Makassar itu atau tidak sampai 2 kilometer dari Kantor Wali Kota Makassar. 10 warung dengan nilai keekonomian yang luar biasa.
Di salah satu warung, pengunjungnya mencapai seribuan saban malam.
Jika masing-masing orang membayar 15 ribu untuk segelas sarabba, pisang dan ubi goreng. Maka ada 15 juta uang mengalir ke pemiliknya. Kalau ada 10 warung maka uang mengalir 150 juta.
Pssst! Bisakah ini 1 persen saja untuk pajak atau restribusi bagi Pemkot? Uang datang tentu saja bukan karena ubi, pisang atau sarabba tetapi kenyamanan ruang, kenikmatan sajian sederhana, murah dan menciptakan kehangatan sebagai warga kota yang ingin bersukacita.
Yang datang jangan dikira mereka yang tak punya kantong atau kelas menengah, tidak sedikit dari mereka datang dengan mobil pribadi.
Membaca konfigurasi sajian di Sucer, tidak saja menuntun kita pada bagaimana kota hidup, tetapi juga fakta tentang apa saja yang dbutuhkan untuk membuat kawasan itu jadi nyaman dan terus menggeliat tanpa mengusik ketenteraman warga kota, setidaknya yang melintas di jalur itu untuk tidak terhalang macet.
Lalu apa yang bisa dilakukan Pemerintah Kota? Pemkot bisa membantu para pemilik warung di Sucer untuk mengantisipasi perkembangan warung mereka.
Bukan hanya 10 warung itu yang eksis dan meraup untung tetapi warung-warung lain yang tumbuh, nasi campur, nasi kuning dan lain sebagainya. Mereka harus memikirkan dampak yang muncul ketika semakin banyak orang datang.
Bagaimana dengan perparkiran, bagaimana dengan sampah, bagaimana dengan posisi warung yang bersisian dengan jalur pejalan atau pengendara, bagaimana dengan kenyamanan warga yang berdomisili di jalur itu, dan lain sebagainya.
Pemerintah Kota yang fokus pada pembangunan berkeadilan, bertanggung jawab dan berkelanjutan harus memerhatikan trend dan konsekuensi dari perkembangan satu titik ekonomi seperti Sucer ini.
Mungkin saat ini masih terkendali, tetapi beberapa tahun ke depan pasti akan ‘tertekan’ karena semakin terbatasnya ruang untuk parkir dan semakin melubernya alternatif usaha.
Di situlah semestinya Pemerintah Kota untuk hadir ada di sana, membantu para pihak untuk mengantisipasi segala konsekuensi, risiko, dan tantangannya di masa depan. Kondusifnya usaha di Sucer, cermin bagi berhasilnya fungsi Pemkot.
Katakanlah bagaimana mereka, para penjaja sarabba memikirkan ruang parkir.
Sucer, bukankah ini titik inspiratif yang harusnya bisa merangsang Pemkot dan Pemerintah daerah lainnya untuk ‘memenuhi’ segala hasrat keekonomian tumbuh di sana?
Lalu, bagaimana dengan pemenuhan pasokan garam, merica, jahe, pisang, ubi, telur ayam kampung, dan lain sebagainya. Bukankah ini juga bisnis yang menggiurkan?
Ayo kita penuhi kebutuhan mereka. Mari bikin kolaborasi lintas kabupaten-kota untuk ‘mengantar Sucer ke panggung kuliner terbaik di Kota Makassar’. (*)
Penulis: Kamaruddin Azis