PELAKITA.ID – Penulis pernah bertugas sebagai ‘Social Development Advisor’ untuk proyek Earthquake and Tsunami Emergency Support Project ETESP bidang perikanan di Aceh dan Nias yang didukung Asian Development Bank (ADB) dari Februari 2006 hingga Juli 2008.
Semoga catatan berikut dapat berguna untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, di manapun.
***
Terkait tujuan ETESP Perikanan, dimensi tugas yang diberikan oleh PT. Trans Intra Asia yang bermitra dengan Network of Aquaculture in Asia-Pacific (NACA) yang berbasis di Bangkok kepada penulis adalah menyiapkan panduan untuk seleksi LSM pendamping (waktu itu yang terpilih Bina Swadaya) dalam memfasilitasi masyarakat pasca bencana.
Yang lain adalah menyiapkan kriteria seleksi desa atau gampong peserta proyek, mengidentifikasi mitra provinsi, kabupaten hingga desa.
Termasuk di dalamnya memantau dan menilai proses fasilitasi pengorganisasian masyarakat, pengembangan usaha, desain pelatihan dan koordinasi antar pemangku kepentingan.
Pengalaman sebagai guru
Saya kira, pengalaman selama hampir tiga tahun di Aceh dan Nias itu adalah guru yang berharga untuk saya dan kita semua dalam mengambil sikap atau peran terutama berkaitan fasilitasi masyarakat saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Tapi yang namanya guru, bukan semata sebagai reminder, penuntun, pemandu atau pemberi data dan informasi pengetahuan baru kepada siswa tetapi juga bagaimana melihatnya sebagai sebuah konstruk dari bauran kompetensi. Bisa pengetahuan, keterampilan atau bisa jadi kesungguhan untuk sedia mentransformasinya.
Disebut demikian sebab penulis menyadari bahwa urusan rehabilitasi dan rekonstruksi ternyata tak selalu mudah jika hanya bergantung pada besar anggaran dan nama besar donor.
Uang donor ADB yang mencapai 300 miliar saat itu ternyata membutuhkan waktu relatif lama dalam pencairan dan realisasinya.
Ada tensi yang hebat antara promosi janji bantuan dan kesiapan warga. Warga selalu berpikir untuk menyegerakan datangnya bantuan padahal mekanisme donor, maunya bertumpu pada rencana.
“Uangnya ada 300 miliar, kalau saya kasih sekarang, bapak-ibu mau apakan?” kurang lebih begitu ‘warning’ proyek saat itu jika ditanya kapan dana cair. Jelas bahwa rencana adalah basis utamanya.
Hemat penulis, bencana Aceh-Nias tidak jauh beda tafsiran kapasitas masyarakatnya dengan musibah Sulawesi Tengah (Palu, Sigi, Donggala) dan sekitarnya. Sama-sama rentan karena mereka kehilangan harta benda dan sanak saudara.
Tapi apapun itu, harusnya kita bisa belajar dari peristiwa. Kita semua bisa belajar dan membiasakan diri untuk cepat tanggap, peduli dan sigap dalam ‘menjalani’ bencana.
Memang, selalu ada bengkalai, ketidaksiapan dan yang memiriskan kita juga disodori tontonan yang sangat tidak ‘manusiawi’ saat berhadapan dengan bencana mapupun sesudahnya.
Masih ingat warga yang diinterogasi tentara karena dianggap menjarah? Atau sekelompok oknum di jalan antara Donggala dan Palu yang harus menahan mobil bantuan karena merasa diabaikan?
Sebagian dari kita menyadari ini sebagai hal lumrah sebab setiap insan mempunyai pemahaman dan kemampuan atau daya tahan.
Persoalannya, situasi tersebut berdimensi luas. Ketika ada korban bencana merasa tak diperhatikan, jari telunjuk mengarah ke Pemerintah, pihak yang kalau kita lihat belakangan ini, katakanlah 10 tahun terakhir semakin intens mempromosikan kesiapsiagaan bencana, tanggap darurat serta penanganan pasca bencana.
Bencana gempa dan tsunami yang melanda Palu dan lokasi di sekitarnya adalah salah satu yang bertalian dengan deskripsi di atas. Rupanya, tidak cukup untuk bisa menyadarkan banyak pihak untuk belajar dari pengalaman.
Katakanlah, bagaimana agar aneka bantuan, ragam program atau kegiatan pasca bencana gempa dan tsunami Palu dan sekitarnya yang diulurkan oleh pihak luar bisa menjadi ‘ramuan pengetahuan’ sehingga lebih baik dalam penanganannya.
Telah ada banyak foto-foto, hikmah, pesan-pesan hingga simulasi terkait kebencanaan, tentang pentingnya kesiapsiagaan, tentang penting tanda jalur evakuasi hingga kepatuhan pada prosedur ketika bencana datang.
Meski begitu, tetap saja ada klaim bahwa para pihak rupanya semakin sulit dikonsolidasi apalagi diajak berkoordinasi ketika bencana datang dan bencana harus ditangani.
Inspirasi fasilitasi dari Aceh-Nias
Saat penulis bekerja untuk program ETESP Perikanan itu, teridentifikasi sekurangnya 5 inspirasi atau semacam pengingat yang berkaitan dengan pendekatan, strategi dan fasilitasi kegiatan berskala kabupaten dengan basis desa atau kelurahan.
Pertama, pentingnya kesepahaman bersama atas kapasitas tersedia.
Masyarakat atau warga pasca bencana adalah mereka yang kehilangan sumberdaya harta, sarana prasarana, dan akses pada kebutuhan dasar seperti air minum, pangan, pendidikan hingga kesehatan.
Pada situasi demikian, pihak luar umumnya hanya fokus pada pengadaan hal-hal material.
Tidak banyak inisiatif yang berkaitan dengan membangun kesadaran, ketangguhan dengan pendekatan non-fisik. Perbanyaklah heart to heart dengan tokoh agama, tokoh pemuda, Kades/Keuchik.
Fasilitator program, dulu disebut Community Mobilization Support (CMS) diminta untuk menyiapkan waktu, ruang, telinga untuk banyak mendengar keluh kesah warga sembari pada saat yang sama mulai mengajak mereka untuk mengingat-ingat properti yang tersisa, baik fisik maupun non-fisik.
Mereka diminta untuk tidak semata mengurus adminsitrasi atau menghitung material bantuan tetapi benam di keseharian warga demi ‘mencuri’ simpati warga.
Meski tergolong fasilitator yang kapabel, berpengalaman dan paham arti menjalin pertemanan namun dalam praktiknya juga membutuhkan waktu dan pendekatan yang unik sesuai desanya atau gampong-nya.
Kedua, pentingnya memetakan kapasitas pihak terkait.
Pada kebutuhan ini diperlukan kesungguhan membaca realitas relasi aktor selama ini, para fasilitator memperbanyak membaca referensi, bertemu tokoh dan warga, sebelum bencana dan sesudah bencana. Diperlukan kejujuran untuk mengingat, menghitung dan membaca nilai kapasitas yang ada.
Pada banyak kasus, fasilitator LSM atau pihak luar biasanya hanya fokus yang siapa yang menguntungkan mereka, yang dapat memudahkan pekerjaannya dan cenderung pilih kasih dalam memberi ruang para pihak terkait.
Padahal, kita membutuhkan mereka sebab mereka punya kapasitas dan bisa jadi ‘agent pengubah’.
Jangan skeptis atau apriori ketika ada oknum Pemerintah yang ‘project oriented’ atau terkesan ambil untung dan tak mau peduli dinamika lapangan. Tetaplah kreatif untuk membangun kesepahaman di antara SKPD atau OPD yang ada.
Para CMS diminta untuk mengajak warga, ibu-ibu, gadis, remaja, usia anak-anak hingga orang tua usian 80-an untuk ikut mendengarkan dan berbagi perspektif terkait agenda pasca bencana.
Mereka harus terlatih untuk komunikatif dengan mereka. Terbuka untuk semua kalangan adalah kunci keberhasilan ‘rehab-rekon’.
Konsultan Site Adviser di ETESP Perikanan yang ada di Kabupaten/Kota sangat terbantu dengan personalia Dinas yang selalu intens mengkuti proses, baik kunjungan lapangan maupun monitoring kegiatan.
Ketiga, pentingnya komunikasi yang tercatat.
Pertemuan-pertemuan yang banyak diselenggarakan oleh LSM atau pihak luar dalam memberikan bantuan umumnya dilaksanakan dengan metode dan gaya yang sangat ‘top down’ dan jauh dari pendokumentasian yang jelas. Ini penting untuk menjadi alas dalam proses pengambilan selanjutnya.
Tidak banyak ruang atau situasi yang memungkinkan warga untuk refleksi dan memberi masukan.
Sering kali mereka diam saja sementara fasilitator proyek yang sibuk bicara. Tak mau bertanya tetapi lebih banyak meminta partisipasi warga.
Keempat, pentingnya fasilitasi lintas aktor.
Selama di Aceh, ETESP Perikanan melalui Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh memberi ruang yang luas kepada kabupaten/kota untuk membentuk PIU atau Project Implementation Unit, harapannya ada perwakilan daerah untuk ikut dalam mendisain, memberi masukan dan meverifikasi kelompok-kelompok rentan atau terpapar.
Pemerintah kabupaten/kota, terutama pengambil kebijakan mempunyai tanggungjawab besar untuk menunjuk staf atau PNS yang kapabel semisal paham teknis perikanan tangkap, budidaya laut atau ikan, rehabilitasi tambak atau mangrove dan lain sebagainya.
Program ETESP di Aceh dan Nias pada aspek ini sangat positif dan kontributif dimana ada perwakilan Pemerintah yang proaktif sehingga timeline program bisa berjalan dengan lancar.
Beberapa riak hanya pada posisi PIU ketika dikaitkan dengan Panglima Laot dalam hal pemberian keterangan mana kelompok nelayan yang pantas, mana yang tidak mendapat bantuan.
Kelima, perlunya kehati-hatian dalam penerapan metode perencanaan.
Sebagai yang bertanggungjawab dalam memverifikasi aspek sosial dalam pemberian bantaun ke desa-desa terpapar, penulis melihat perlunya fleksibilitas namun terkendali terkait agenda perencanaan ini.
Saat itu, ada pos anggaran hingga 24 miliar Village Grant untuk 11 kabupaten/kota, mulai dari Kota Banda Aceh hingga Nias Selatan dan ini seharusnya bisa menjadi stimulan dalam menghidupkan mata pencaharian warga pasca bencana.
Tantangannya adalah pada perumusan Community Action Plan. Ini tidak mudah sebab di hampir semua kabupaten/kota ada banyak LSM atau program yang menyasar target yang sama sehingga masih saja ada yang mendapat bantuan dobel atau ikut sebagai penerima dua atau lebih kegiatan yang sama.
Mereka juga lebih berselera bahas fisik ketimbang program-program penguatan kapasitas.
Di wilayah pesisir dan pulau-pulau seperti di Pulo Aceh, Nias, Simeulue, daya tahan masyarakat lebih rentan dan rumit ditangani ketimbang di perkotaan atau pedalaman.
Disebut demikian sebab ada banyak institusi sosial, Pemerintah, maupun bentukan Kementerian seperti kelompok petani, kelompok nelayan, KUB hingga Panglima Laot, belum lagi saat itu, ada transformasi dari eks GAM ke organisasi Pemerintah maupun yang bernuansa kelembagaan sosial sehingga perlu penanganan yang pas dan efektif.
Tarik menarik kepentingan dan perebutan pengaruh sangat mewarnai proses CAP ini. Tapi ini tidak menjadi persoalan yang pelik dan tanpa solusi sebab Pemerintah melalui PIU serta LSM yang bekerja selalu mengajak mereka untuk konstruktif dalam forum-forum konsultasi di tingkat desa atau gampong.
Penulis beruntung bisa memasuki daerah-daerah basis GAM seperti Peudada dan Samalanga di Bireun, Seunuddon di Aceh Utara atau Bandar Baru, Kembang Tanjong di Pidie.
Lima poin di atas adalah peringatan kepada para fasilitator program rehab-rekon atau pembawa bantuan yang menggunakan label LSM untuk juga membekali diri dengan kemampuan komunikasi dan kecakapan membangun pertemanan ketimbang bertameng di balik uang dan bantuan yang diberikan. Atau memanfaatkan ketidakpastian di tengah masyarakat untuk sepihak menentukan strategi.
Fasilitator atau pekerja LSM itu harus paham metodologi pengamatan situasi lapangan, kolaboratif dan selalu terbuka untuk menerima masukan warga, harus jelas dan ‘terkonfirmasi bersama’ dalam mengidentifikasi dampak bencana, bertanya faktual dan jeli melihat sekuens untuk menilai kadar keterpaparan.
Yang lebih penting adalah sabar dalam meminta kesediaan warga terkait waktu, rencana dan lokasi pertemuan.
Itupun tak cukup, para fasilitator atau pekerja LSM harus teguh iman untuk tidak terseret pada manipulasi dan korupsi bantuan. Misalnya, sengaja mengutak-atik data jumlah korban hanya karena permintaan aparat Pemerintahan desa, gampong atau kelurahan.
Penulis: K. Azis, bekerja di COMMIT Foundation Makassar