Peneliti BRIN tawarkan 9 rekomendasi mengembalikan kejayaan udang windu di Sulsel

  • Whatsapp
Dr Tarunamulia (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

“Dana 40 hingga 50 miliar dengan penanganan intensif sangat dianjurkan untuk setahun atau lebih masa produksi.”

PELAKITA.ID – Dr Tarunamulia, peneliti BRIN – pakar kualitas air dan tanah – yang berpengalaman dalam pengkajian kelayakan budidaya tambak, mulai dari tradisional hingga supra intensif memberikan perspektifnya atas upaya Pemprov Sulawesi Selatan dalam mengembangkan atau tepatnya mengembalikan kejayaan udang windu di jazirah selatan Sulawesi ini.

Upaya Pemprov tersebut adalah Pandawa 1.000 yang menargetkan peningkatan produksi udang windu pada lahan tambak seluas seribu hektar berikut penyediaan benih dan probiotik termasuk peningkatan kapasitas petambak di Kabupaten Pinrang.

Program ini merupakan salah satu program Gubernur Andalan, Nurdin Abdullah yang masih bertahan hingga tahun ini. Tahun lalu, dana 5 miiar disiapkan untuk menjalankan program ini.

Alasan mencuatnya ide Pandawa 1.000 di Pinrang salah satunya lahir dari realitas bahwa lahan tersedia dan kesejarahan berbudidaya udang windu sangat lekat dengan Pinrang. Maka jadilah, Pandawa 1.000 eksis di Pinrang, tepatnya di Kecamatan Lanrisang.

Lalu apa masukan Dr Taruna terkait pengelolaan usaha budidaya tambak, terutama udang windu itu? Pelakita.ID menuliskan beberapa pandangan dan arahan agar program Pandawa 1.000 itu berjalan sukses.

9 rekomendasi

Pertama, bentuk intervensi melalui program atau revitalisasi tambak itu harus disesuaikan dengan level atau kategori tambak. Misalnya, perlakukan untuk tambak tradisional, tidak akan sama pada tambak semi intensif, intensif atau supra intensif. Pertimbangannya adalah karakteristik lingkungan (tanah, air dan kemiringan dan elevasi lahan dari MSL dll.) dan syarat teknis untuk masing-masing teknologi budidaya (cara pasokan air, kebutuhan pakan, pupuk dan padat tebar)

Di Pinrang, tambak tradisional masih dominan, perlu penanganan yang pas, berbasis data dan informasi aktual serta melibatkan partisipasi masyarakat serta mitra strategis program. Baik dalam desain maupun implementasinya.

Kedua, karakter lahan tambak di Pinrang adalah tambak dengan dasar berlumpur dan berpasir. Situasi ini meski masih dapat diupayakan untuk udang windu namun rentan pada perubahan kualitas air dan tanah kaitannya dengan penumbuhan pakan alami.

Beda untuk budidaya tambak intensif dengan kondisi tambak dasar berpasir, faktor pembatas dapat diabaikan dengan input teknologi konstruksi bahkan memiliki keuntungan dari segi manajemen karena dapat membantu mematikan sebagian besar pathogen karena panas dari sinar matahari.

Oleh sebab itu perlu monitoring, pengendalian dinamika fisik, kimia dan biologi tambak, atau dengan kata lain, treatment relatif berbeda.

Ketiga, era udang windu Sulsel di pertengahan 80 an hingga awal 90 an adalah sejarah manis dengan hasil luar biasa. Satu hektar tambak intensif bisa menghasilkan hingga 6 ton per hektar. Bandingkan saat ini yang hanya ditargetkan antara 200 hingga 350 kg per hektar.

Perubahan ekologis dan kapasitas petambak yang sulit beradaptasi dengan dinamika lingkungan harus dibarengi dengan upaya-upaya peningkatan kapasitas.

Bukan semata aspek teknis tetapi kerjasama sosial, pengelolaan kawasan dan kolaborasi lintas insitusi berpengaruh seperti otoritas sungai atau irigasi, dinas tata ruang, hingga dinas pertanian dan perkebunan.

Keempat, pakan. Pakan menyerap anggaran usaha lebih dari 60 persen. Ini berarti bahwa perlu kepastian pendanaan dan ketersediaan pakan untuk memastikan operasi tambak udang windu bisa efektif.

Besarnya anggaran untuk pakan ini seharusnya bisa diantisipasi dengan adanya pabrik pakan dalam negeri yang menggunakan raw material dan adopsi teknologi.

Unsur penting dalam pakan adalan alat untuk membuat pakan bisa mengapung, serta bahan esensial seperti tepung dan minyak ikan yang selama ini umumnya hasil import. Hal ini yang perlu disiapkan agar bisa mengoperasikan pabrik pakan dalam negeri.

Kelima, benur berkualitas. Saat ini, pemenuhan benur dipasok oleh hatchery di daerah seperti Barru, Pinrang. Benur windu dan vaname berbeda, baik dalam penanganan maupun asal usulnya.

Jika indukan vaname berasal dari Hawaii, maka indukan windu bisa diperoleh dari perairan Kalimantan, Sulawesi atau Sumatera. Pendirian hatchery dengan stok indukan yang lebih dari cukup sangat dianjurkan. Hatchery yang dapat memasok benur berkualitas untuk setidaknya seribu hektar di Pinrang itu.

Keenam, untuk mendukung beroperasinya usaha budidaya udang windu di Pinrang (di Lanrisang), maka perlu disiapkan anggaran yang memadai atau bahkan super jumbo sebab dengan dana tersedia ‘hanya’ 5 miliar untuk 1.000 hektar, sangat jauh dari ideal.

Dana itu bisa digunakan untuk menata pematang, membetulkan saluran air, meriset kondisi biofisik termasuk kimia air. Demikian pula pengadaan benur, probiotik, pakan hingga operasional.

Dana 40 hingga 50 miliar dengan penanganan intensif sangat dianjurkan untuk setahun atau lebih masa produksi.

Ketujuh, perencanaan Pandawa 1.000 di Pinrang hanya akan berhasil jika dieksekusi oleh kontraktor atau penyedia layanan yang professional, taat aturan, tak mempermainkan harga, tak mengebiri anggaran semata untuk efisiensi dan kemudahan.

Membeli benur murah dan tidak sesuai dengan kesiapan dan daya dukung lahan tambak adalah persoalan besar. Usia muda tak baik, terlalu tua juga tak elok. Harga benur bisa saja efisien tapi kualitas harus dijamin. Di sinilah gunanya melibatkan pakar atau ahli yang bisa menilai kelayakannya.

Kedelapan, pengendalian dinamika usaha tambak hanya bisa dilaksanakan jika personil memadai.

Rekrutmen tenaga kompeten, berpengalaman dan berkomitmen baik adalah jaminan usaha tambak yang berhasil, Pemprov harus menyiapkan personil yang memadai, atau setidaknya menyiapkan pendamping lapangan yang gigih dan tangguh. Pelatihan pendamping dan asistensi secara berkala sangat dianjurkan. Peran Pemkab Pinrang sangat dibutuhkan.

Kesembilan, panen dan pemasaran yang terkendali. Panen udang seharusnya dilaksanakan serentak sebab jika tidak, akan berdampak pada dinamika fisik tambak. Panen yang acak dan cenderung tak terkoordinasi sebagai hamparan akan berpotensi memunculkan persoalan penyakit.

Demikian pula pemasaran udang, sebaiknya difasilitasi oleh otoritas yang bisa menjamin kulaitas dan kelayakan komoditi udang. Praktik membeli udang di bawah grade bukan pilihan baik di tengah antusiasme Pemprov untuk mendongkrak PAD atau devisa negara dari si Windu ini.

 

Editor: K. Azis

Related posts