PELAKITA.ID – Pagi tadi ada awan hitam menggantung di kelopak mata. Biccekang, begitu kata orang Makassar.
Saya bangun pagi dengan beban menggantung di mata kiri. Padahal, hari ini saya sesungguhnya dapat undangan dar Abdul Madjid Sallatu – setelah ini saya tuilis Tetta Majid, panggilan orang Galesong untuk orang tua kebanggaan.
Undangan itu berkaitan tentang mengulas buku – tepatnya perayaan ulang tahunnya yang ke-74 yang diisi dengan diskusi membincang tiga buka karya Tetta Madjid.
Terkait tetta itu, sebelumnya, saya juga sempat melihat di linimasa FB Muhammad Ashry Sallatu, putra Tetta Majid yang berfoto bareng dengan Jokowi di Wakatobi.
Kedua sosok itu adalah ayah-anak yang kreatif, produktif dan milennials. Gego begitu panggilanku, sedang riset pariwisata di sana.
Saya sebut Gego dan Tetta Madjid demikian sebab saya kenal keduanya sebagai dua generasi yang tidak pernah jauh dari ciri-ciri anak-anak milenials seperti di media sosial, hadir di berbagai event sosial, dan gandrung berinteraksi dengan berbagai kalangan.
Tetta Madjid juga aktif di grup Whasapp Alumni Unhas, meski ada beberapa yang menyebut grup itu grup ‘bising dan bikin pusing’. Dibenci tapi dirindu. Kira-kira begitu terkait WAG itu.
Terkait udangan itu, saya melihatnya sebagai apresiasi sekaligus ajakan berbagi perspektif.
Saya tidak heran manakala dia tidak sungkan untuk menggelar acara seperti di atas. Di hotel Unhas dan mengajak banyak pihak.
Berbagi buku adalah pekerjaan luar biasa, menilik judul bukunya itu adalah akumulasi pejalanan hidup sarat nilai yang bisa jadi inspirasi untuk semua.
Dengan hormat, mengundang bapak-ibu menghadiri kegiatan diseminasi tiga buku karya dan dedikasi untuk Madjid Sallatu, Senin 13 Juni 2022. Pukul 09.30 higga 12.00 Wita. Acara berlangsung di Hotel Convention Centre Unhas, Kampus Unhas Tamalanrea. Konfirmasi kehadiran melalui narahubung M. Maula Razak. Demikian informasi yang dikirim Tetta Madjid pada 31 Mei 2022.
Tiga buku berjudul Melintas dalam Pikiran, Sosok dan Kiprah Abdul Madjid Sallatu, Imangngunjungi Daeng Mange Karaeng Sidenre adalah akumuluasi perjalanannya, pembacaannya atas entitas dan orang-orang, sekaligus prestasi yang luar biasa sebab dirayakan bersama koleganya, tokoh Sulsel dan generasi milenials.
Sayang sekali saya tidak hadir, padahal ada banyak kolega di sana.
Saya melihat ketua DPRD Sulsel Andi Ina Kartika Sari di sana, ada sosiolog Dr Sawedi Muhammad, hingga anggota DPRD Sulsel Selle K.S Dalle dari Demokrat.
Sebagai yang merasa anak beru bakka’, saya banyak belajar bagaimana ketokohan Tetta Madjid eksis melintasi waktu dan jadi pembeda di Sulsel, yaitu sebagai pengambil kebijakan saat menjadi kepala Bappeda Sulawesi Selatan.
Saya kira, beliau sesungguhnya bagian dari skenario besar Prof Ahmad Amiruddin agar alumni dan akademisi Unhas ikut membangun Sulsel di tahun 80-an.
Pemikirannya tentang pembangunan daerah yang bisa menggabungkan potensi lokal, kekuasaan teknoratik hingga pengarusutamaan kesetaraan gender adalah kesan yang dapat saya sampaikan terkait ketokohan dan pencapaian karirnya.
Padd tahun 2000-an saya kerap bertemu dengannya di forum-forum pertukaran informasi pembangunan daerah.
Beliau banyak menghadiri diskusi-diskusi buku, program dan hasil riset di Yayasan BaKTI Makassar, salah satu organisasi sosial yang berkiprah dalam menyebarkan inspitrasi pengetahun di Kawasan Timur Indonesia.
Saat itu saya sebagai project officer Sulawesi Selatan untuk proyek JICA Sulawesi Capacity Development Program sementara beliau konsultan di Yayasan BaKTI.
Pada rentang itu saya mengenal Tetta Madjid sebagai sosok yang aktif mendorong pembangunan yang kolaboratif dan akomodatif.
Sungguh menyukai kalau dia memberi sambutan, menjelaskan proses dan bagaimana seharusnya rekonstruksi gagasan perubahan, program dan impliikasi satu kebijakan. Bahasa Inggrisnya juga asik sekali.
Pilihan diksi, retorika dan ritme-nya sungguh asik.
Saya belum browsing atau bertanya dari mana gelar Master of Arts-nya tapi dugaan saya gelar itu ‘seberkualitas’ dengan gelar serupa untuk sosok seperti Dr Tadjuddin Parenta dosen saya di Magister Majamen Unhas, M.A atau Taslim Arifin M.A teman main tenis semasa di Tamalanrea, dosen-dosen atau pemikir Unhas yang segenerasi Tetta Madjid, atau sedikit di bawah masanya.
Apakah Tetta Madjid juga alumni kampus Filipina yang terkenal ‘dalam, dan luas perspektif Ilmu ekonominya?’
Satu lagi. Saya kira, pujian saya kepada Anies Baswedan yang sangat paham hakikat pembangunan persis dengan pemahaman dan ekspektasi Tetta Madjid dalam praksis pembangunan.
Semisal, bagaiimana kolabotrasi dikerangkakan, dijalankan, dimonitor dan dievaluasi. Bagaimana publik, masyarakat, private sector, LSM, pemerintah bahu membahu dalam memyelesaikan persoalan bersama tanpa ada atasan, atau bawahan, tanpa ada raja atau terperintah, tanpa ada Karaeng atau Ata pembangunan.
Karena itu, yang saya pahami, tetta Madjid juga menyukai cara pikir dan aksi Anies Baswedan baik sebagai Menteri Pendidikan maupun sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Saya terakhir bertemu ddengannya di forum saat Aneis Baswedan datang di Makassar dimana tetta hadir.
Terakhir, Tetta Madjid adalah pendengar yang baik. Tidak banyak senior Unhas, atau tokoh berlatar belakang akademisi yang rela atau takzim mendengarkan pihak lain bicara di depannya berlama-lama.
Tetta Madjid pengecualian, dia sungguh pandai menyenangkan pendengar dan miitra bicaranya.
Saya beberapa kali mengikuti semisal saat dia menjadi narasumber atau moderator yang telaten dan sabar dalam merespon teman bicara.
Begitulah, dengan acara hari ini beikut tiga buku istimewa itu, maka di usia memasuki 74 tahun ini, Tetta Majid masih mau menunjukkan satu tradisi kelimuan dan praktik ‘knowledge sharing’ yang baik, yaitu berbagi buku sebagai cinderamata perjalanan hidup, sumber inspirasi dan cermin bagi setiap genarasi.
Salamakki, tetta!
Nuntung, Tamarunang 13/6/2022