PELAKITA.ID – Hari hari terakhir ini ramai dikupas dan menjadi polemik di berbagai media mengenai publikasi ilmiah.
Berawal dari suatu artikel di The Strait Times yang diterbitkan di Singapure tahun 2015 lalu berjudul “Prof, no one is reading you.” oleh Asit K Biswas dan Julian Kirchher yang menyimpulkan bahwa sebuah publikasi ilmiah hanya dibaca oleh rata rata 10 pembaca artikel.
Perihal itu kemudian diangkat oleh Eunike Sri Tyas Suci (Kompas, 25/9/ 2021) terkait dengan perlunya reorientasi penilaian karya ilmiah kenaikan jabatan akademik dosen perguruan tinggi.
Publikasi ilmiah adalah karya ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar.
Karya tersebut menjadi salah satu produk utama aktivitas atau sebuah tindakan final untuk menyempurnakan kegiatan penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian.
Publikasi yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah tentu diharapkan tidak hanya bertujuan sebagai syarat administratiF untuk kelulusan mahasiswa maupun sebagai syarat kenaikan pangkat.
Juga sebagai dasar perhitungan tunjangan dosen, namun dapat memberikan informasi kepada khalayak pembaca, khususnya dari kalangan akademisi, para ahli di bidangnya, serta dapat dijadikan basis formulasi kebijakan oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Tuntutan publikasi yang dilakukan komunitas akademik Perguruan Tinggi terlihat telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kesadaran para dosen pentingnya melakukan kajian dan penelitian serta menerbitkan artikel ilmiah baik di jurnal nasional maupun internasional.
Pemberlakuan regulasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mewajibkan mahasiswa S2 hingga S3 untuk menulis artikel di jurnal ilmiah sebagai salah satu prasyarat kelulusan turut memberi andil bagi perkembangan karya ilmiah Indonesia yang terlihat makin baik.
Sebuah portal yang menganalisa dan melakuan penilaian terhadap domain ilmiah, mencakup jurnal dan indikator ilmiah negara-negara di dunia yang dikembangkan berdasarkan data Scopus dan dikenal dengan Scimago Journal and Country Rank (SJR) menempatkan Indonesia pada tahun 2020 ini sebagai produsen publikasi ilmiah ke lima setelah China (788,721), India (217, 721), Jepang (147,341) dan Korea Selatan (98.796).
Indonesia dengan 50.145 publikasi menjadi penghasil publikasi ilmiah terbanyak Asia, jauh melebihi Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina (Kompas, 15/10/ 2021).
Menyedihkannya, peningkatan signifikan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia tersebut rupanya telah tercemari dan sejalan dengan tingginya persentase artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal abal-abal.
Jurnal abal-abal (predatory journal) yaitu jurnal ilmiah dalam jaringan yang membebani biaya kepada orang yang hendak mempublikasikan artikelnya, tapi tanpa layanan yang memadai bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, seperti layanan penelaahan sejawat atau penyuntingan.
Vít Machácek dan Martin Srholec baru baru ini melaporkan dalam publikasi yang berjudul Predatory publishing in Scopus: evidence on crosscountry differences, Scientometrics, (https://dioi.org/ 10.1007/s11192-020-03852-4), Indonesia termasuk negara dengan publikasi artikel di jurnal predator atau jurnal abal-abal nomor dua tertinggi di dunia.
What? Daftar negara tersebutkan dengan persentase artikel jurnal predator dengan tolak ukurnya persentase artikel yang terbit di jurnal predator terhadap seluruh artikel yang diterbitkan dalam kurun waktu 2015-2017, berturut turut tertinggi pertama adalah Kazakhstan (17 %), kedua Indonesia (16,73%), menyusul Irak (12,94), Albania (12,08%), dan Malaysia (11,60%).
Melakukan publikasi hasil penelitian maka akan memberi label kualitas, baik terhadap hasil penelitian tersebut maupun kepada dosen/akademisi yang menjadi pelaku penelitian.
Tentu nantinya diharapkan akan berdampak positif pula bagi dunia pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia maupun secara Internasional.
Publikasi ilmiah di jurnal nasional ataupun internasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian.
Sebuah publikasi ilmiah dapat dianggap valid setelah melalui proses peer review atau pemeriksaan isi artikel, termasuk proses penelitiannya dan apakah telah sesuai untuk dipublikasikan di jurnal oleh kolega yang juga merupakan akademisi di bidang yang serumpun.
Biasanya, sebuah artikel dapat mengalami beberapa kali proses review dan revisi sebelum akhirnya dapat diterima untuk publikasi.
Sayangnya, jurnal predator yang dibentuk oleh suatu kelompok atau institusi telah menjadi lahan bisnis dan menjadi fenomena global dimana tidak ada satu sistem penelitian pun yang aman dari pengaruhnya.
Seiring tingginya permintaan publikasi ilmiah internasional saat ini untuk berbagai syarat seperti untuk kelulusan mahasiswa syarat kenaikan pangkat maupun sebagai dasar perhitungan tunjangan dosen di lingkungan PT, menjadi kesempatan jurnal abal-abal itu dengan memanfaatkan model open-access meraup uang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan proses peer review dan kualitas artikel yang dipublikasikan.
Dear Prof, no one is reading you…apa lagi yang mesti dilakukan untuk para predator itu?
Baraya, 17/10/21
Editor: K. Azis
Artikel ini juga tayang di Harian Fajar