PELAKITA.ID – Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas yang diwakili oleh Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Wono Srihastuti Sulistyaningrum, ST., MIDS, hadir memberikan pidato kunci pada “The 2nd International Conference on Women and Societal Perspective on Quality of Life (Wosqual) 2020”.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Unhas bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Unhas ini berlangsung mulai pukul 08.30 Wita secara virtual melalui aplikasi zoom meeting, Kamis (26/11).
Wono Srihastuti menuturkan bahwa kualitas hidup perempuan tidak terlepas dari isu ketimpangan gender.
Menurutnya, perempuan masih menjadi kelompok yang membutuhkan kebijakan afirmasi guna mengejar ketertinggalan diberbagai bidang pembangunan, terlebih dalam konteks Covid-19 yang kembali menjadikan perempuan sebagai kelompak rentan.
Global Gap Report (World Economic Forum, 2020 menunjukkn indeks kesenjangan gender Indonesia masih berada pada urutan ke-85 dari 153 negara.
Hal itersebut berdasarkan pada empat dimensi sebagai tolak ukur, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Ketertinggalan terbesar perempuan adalah pada partisipasi di bidang politik dan ekonomi.
Dalam bidang ekonomi, selama dua dekade terakhir tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia cenderung stagnan dan termasuk rendah di Asia Pasifik.
Rata-rata TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan hanya 52%, sementara laki-laki sudah mencapai 83%. Stagnasi ini tentunya menyebabkan terhambatnya potensi ekonomi Indonesia.
“Jika kesenjangan partisipasi kerja perempuan dikurangi seperempatnya saja, Indonesia dapat menikmati tambahan pertumbuhan GDP sebesar 0.7% atau sekitar 123 triliun dollar pada tahun 2025, hal ini sesuai kajian prospera tahun 2020,” jelas Wono.
Pada era industri 4.0, perkembangan teknologi tentunya berdampak pada pemerintahan, ekonomi dan ketenagakerjaan.
Diperkirakan 90% pekerjaan masa depan akan digantikan oleh keterampilan teknologi, informasi dan komunikasi. Olehnya itu, perempuan dalam bidang sains maupun teknologi tentunya memiliki peranan penting dimasa mendatang.
“Dibanding dengan negara lain, perempuan Indonesia masih tertinggal jauh di bidang sains, teknologi, enjinering, dan matematika atau STEM. Meskipun proporsi perempuan yang belajar di program studi STEM sangat besar antara 57-88%, namun tidak banyak yang bekerja dalam bidang tersebut,” sambung Wono.
Lebih lanjut, Wono juga menuturkan dimasa pandemi semakin meningkatkan kerentangan perempuan.
Berbagai kajian dan survey menunjukkan bahwa kebijakan PSBB meningkatkan beban gender perempuan dalam rumah tangga dan resiko mengalami KDRT semakin besar, mengingat jika ada korban yang tidak melek teknologi informasi menjadi semakin sulit mengakses layanan karena perubahan mekanisme aduan dan layanan kasus dari tatap muka menjadi daring.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan pengarusutamaan gender (PUG).
Hal ini membutuhkan peran dan keterlibatan aktif masyarakat. Kebijakan untuk peningkatan kualitas hidup perempuan harus didesain untuk mengatasi berbagai hambatan sosial dan budaya yang menjadi akar permasalahan ketimpangan gender.
Olehnya itu, kolaborasi multipihak sebagai strategi percepatan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sangat dibutuhkan.
“Saya berharap diskusi hari ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai pengetahuan. Menggali ide dan gagasan terbaik dari berbagai pihak guna menjadi masukan kebijakan dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan,” tutup Wono.(*/mir)