PELAKITA.ID – Tahu Sop Saudara kan? Iya, ini salah satu kuliner favorit di Makassar dan sekitarnya selain coto, pallubasa atau ikan bakar.
Sop saudara adalah hidangan berkuah isi daging sapi dan biasanya dicampur jeroan, berbahan pelengkap seperti bihun, perkedel kentang, hingga telur rebus. Tak ketinggalan nasi putih dan ikan bandeng atau bolu bakar.
Jika ditanya Warung Sop Saudara terbaik di Makassar dan sekitarnya, sosodara pilih mana?
Kalau saya, yang berkesan dan luar biasa enak itu Sop Saudara Andalas, di Jalan Andalas atau di barat Masjid Raya Makassar. Sudah lama saya makan di tempat ini, saat SMA dan semasa kuliah.
Yang saya ingat ikannya besar-besar dan kuah sopnya sungguh nikmat. Tentang sop saudara seperti ini saya jadi ingat Sop Saudara di Bone-Bone Luwu Utara yang ikannya besar sekali.
Meski demikian, jika menengok timeline di FB atau Instagram, saya langka memposting Sop Saudara karena memang lebih condong ke Coto. Secara saya alumni Coto Baji Minasa Jalan Bulukunyi 29 Makassar sejak tahun 1986.
Oh ya, saya agak traumatik dengan Sop Saudara di salah satu warung di daerah saya yang saya anggap terlalu banyak bahan penambah rasa hingga bikin sakit kepala.
Untuk saya, kuah atau sop harus sehat dalam arti, setelah mengkonsumsinya tidak bikin sakit kepala. Beberapa penjual sop karena ingin dianggap enak hingga menggunakan penambah lezat yang bisa buat pening.”Jangan banyakan micin kata netizen.”
Sudah lama saya tidak makan Sop Saudara. Di Jakarta, undangan makan hanya tentang coto tapi dalam dua minggu ini, saat WFH dari Gowa, saya bisa menikmati Sop Saudara di tiga lokasi berbeda, di Pattallassang Takalar, Sudiang dan Jalan Yusuf Daeng Ngawing, Tidung Makassar.
Menikmati sop saudara kali ini seperti pelampiasan setelah beberapa kali terlintas di pikiran meski kemudian urung karena tidak mau makan daging. Kadang, saat baru bangun, godaan sop saudara muncul.
Godaan yang saya kemudian sadari karena ada warung Sop Saudara murah di Poros Jalan Malino yang sering saya lihat.
Menurutku, Sop Saudara tak lengkap tanpa ikan bandeng bakar. Saya tidak menganggapnya sebagai Sop Saudara kalau hanya sop isi daging tambah nasi minus bandeng.
Sop Saudara adalah kolaborasi kuah sop (afdolnya dengan isi daging), ikan bakar bandeng, sambel kacang, irisan bonte atau timun, tomat hingga kemangi, juga pisau eh maksudnya pisau pengiris tomat dan cabai.
Dua minggu lalu, seusai bertemu seorang pejabat eselon II di Kota Pattallassang, di Kantor Bupati Takalar, saya jalan kaki ke warung Sop Saudara di seberang Masjid Raya Takalar.
Jika dibanding warung-warung fenomenal lain, warung ini tak terlalu ramai tetapi dia sudah hadir selama belasan tahun, atau bahkan lebih. Terakhir makan di sini adalah di awal tahun 2000-an.
Karena alasan itu, saya menyambanginya. Warung ini , layaknya warung Sop Saudara, menyediakan ikan bandeng dan sup.
Saya tidak mengiyakan saat pelayan menawarkan sop isi daging. Saya pesan kuahnya saja, sup-nya saja karena saya memang hanya ingin merasakan kembali kuah sopnya yang nikmat.
Dua nasi, sepotong kepala ikan bandeng, dan kuah sudah cukup untuk saya kembali merasakan Sop Saudara di ibu kota Takalar. Harganya 25 ribu. Saya tidak sendiri saat itu, ada dua pengunjung lain yang nampaknya sangat lahap dan bersimbah peluh.
Seminggu kemudian saya ke Pangkep.
Sop Saudara konon berasal dari Pangkep, peracik aslinya asal Pangkep. Makanya jangan heran jika ada Sop Saudara Labbakkang, Segeri, atau Sop Saudara Pangkep. Ibarat Ilmu Kanuragan, kawah candradimuka Sop Saudara ada di sini.
Sayangnya, sejak lepas Kota Pangkajene dalam perjalanan balik ke Makassar, saya selalu luput untuk mampir di warung beraroma tersebut, ada dua langganan di sisi timur jalan tetapi terlewatkan. Saya beberapa kali mampir di sini di antara tahun 2006-2008.
Memasuki Kota Maros, saya berencana untuk mampir di warung dekat Masjid Raya Maros tapi karena terllihat crowded, saya urungkan niat. Mobil terus bergerak.
Sampai di perbatasan, atau masuk wilayah Makassar saya berhenti di sisi kiri jalan. Di sini ada warung dengan papan nama yang masih fresh, terlihat relatif baru dan terpisah dari bangunan lain.
Di sini, kembali saya pesan kepala ikan bandeng dan dua piring nasi. Haha.
Waktu menunjuk pukul 14.30 Wita saat saya meninggalkan warung ini. Hujan jadi saksi saat saya bayar 25 ribu untuk dua porsi nasi dan sepotong ikan bandeng.
Jika dibandingkan denga jumlah bintang penilaian dibanding Sop Saudara Takalar sebelumnya, maka saya beri bintang dua dan tiga untuk Takalar.
Yang ketiga adalah yang di sisi timur Futsal Goro atau Kafe Red Corner Jalan Yusuf Daeng Ngawing, di antara Hertasing ke arah Gunung Sari.
Saya dan keluarga pernah buka puasa di sini tahun lalu, dan terkesan. Adalah istri yang memperkenalkannya. “Di sanamaki lagi dih?” ajaknya minggu lalu. Kali ini saya berdua saja.
Saya pesan kuah sop tanpa daging, plus ikan bakar bandeng. Nah, ini yang unik. Jika di warung kedua sebelumnya, ikan bandeng tidak dibelah alias dipotong biasa, maka di sini, di Warung Sop Saudara Ta’, ikan bandeng sudah dipotong, sudah gitu, dibelah dan dilumuri bumbu. Beda kan?
Yang saya suka juga karena ada pisau, ada tomat sayur, cabai, telur, kacang dan sambal non kacang alias sambel tomat duet cabai. Bagi yang sering melintas di Mapala atau sekitar Goro, saya kira tempat ini mudah diakses, persis di sudut.
Tempatnya luas, kita bisa menyaksikan ikan dipanggang di pintu masuk warung, demikian pula sambal. Di sini bukan hanya bandeng tetapi juga tersedia ikan lain seperti beronang, meski tak banyak.
Selama beberapa kali makan di sini, saya selalu minta nasi dua, semua tandas. Anak saya Donnie sempat terheran saat saya preteli ikan bandeng – termasuk bagian ekor.
“Edede bapak, biar tulang namakanji,” katanya menegaskan kalau saya lincah preteli ‘pisi’ ikan bandeng yang tulangnya satu RW.
Saya juga sempat mencicipi sop isi dagingnya yang maknyus, meski tak banyak. Istri saya yang menghabiskan. Saya hanya terkagum-kagum pada kuah sop, apalagi jika disiram perasan jeruk nipis dan kecap secukupnya.
Jika ada alasan utama kenapa saya atau kami suka warung ini, maka itu adalah harganya. Murah! Bersama istri, pesan ikan dua, sop saudara isi daging satu, sop to’, nasi empat, kami bayar 41 ribu.
Sementara pada kunjungan tiga hari lalu bersama anak saya Donnie, kami ‘hanya’ bayar 54 ribu. Nasi tujuh (ha-ha-ha), sop saudara dua (hanya satu isi daging) plus air mineral.
Tiga warung Sop Saudara yang saya tulis di atas berbeda ruang dan waktunya.
Ada yang sudah lama berdiri dengan gaya yang masih sama, ada yang baru berdiri dengan isi yang nyaris sama dengan yang pertama tapi yang menyita perhatian adalah yang terakhir. Pada warung ketiga, saya kira ada inovasi di sana dan tak harus mengatrol harga ke langit alias tetap murah.
Murah dan berkualitas adalah dambaan setiap insan di tengah pandemi. Ini bisa saya lihat pada warung-warung yang bermunculan di di sekitar kita yang memasang spanduk, “coto 10 ribu, gratis nasi”, atau Pallubasa, 10 ribu, gratis nasi. Saran saya, jika ingin langgeng, jaga kualitas dan sombere pada pelanggan.
“Sayang, ada tisu di pipita, lap dulu keringatta,” ucap istri saat kami bersiap pulang ke Tamarunang dari Warung Sop Saudara Ta’ di Yusuf Daeng Ngwing di Tidung.
Penulis: K ‘Denun’ Azis