PELAKITA.ID – Pilihan Yunaldi Yahya (49) mengarungi samudera karir dengan ber-LSM di Kota Padang telah menghantarkannya ke muara pengabdian pada ranah bahari di Pulau Dewata.
Dia kini antusias mengelola unit pembudidayaan biota laut langka di pesisir Buleleng.
“Keluarga di Denpasar, saya di sini. Setiap minggu balik. Kurang lebih 3 jam Buleleng – Denpasar,” katanya saat diwawancarai via Zoom oleh Pelakita.ID, Selasa, 28 Juli 2020.
Jalan LSM
Pria yang memulai karir LSM bersama Yayasan Minang Bahari ini telah menghabiskan waktu hampir 30 tahun di ranah pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau.
Di lini masa pengabdiannya, dia menjadi peneliti karang, penyelam, hingga mengelola unit kerja LSM. Seperti yang telah dijalankannya sebagai penanggung jawab Lini Aquaculture Training Center di Bali ini.
“Setelah di Yayasan Minang Bahari, saya ke Jakarta, saya di Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Pendiri Terangi-lah. Setelah dari Terangi lalu ke organisasi Reef Check di Bali. Terdampar dan masuk ke MAC, Marine Aquarium Council,” ucap Yunaldi sembari menyungging senyum.
Di MAC, dia bertemu Gayatri Lilley, wanita yang pernah menjadi salah satu narasumber saat Yunaldi menjadi peserta pelatihan Manager Training oleh proyek rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang bernama COREMAP fase I di tahun 1998.
“Setelah itu, ikut program konservasi untuk gurita. Saya banyak bantu ke sana, di Banda Neira demikian pula di Banggai,” tambahnya.
Menurut Yunaldi, di Lini Aquaculture, dia dan LINI menjalankan program pembudidayaan spesies langka seperti cardinal fish.
“Salah satunya ikan kardinal. Jadi dulu, kita aktif pada program pemberantasan penggunaan potas pada ikan hias. Nelayan penangkap diajari pakai jaring, setelah itu disertifikasi untuk yang ramah lingkungan. Setelah itu, kita apa lagi gitu. Ini di MAC,” kenang Yunaldi.
Saat ditanya bahwa perburuan ikan hias sangat mengganggu kondisi ekosistem karang, Yunaldi menyebutnya bahwa pertentangan itu pasti ada.
Nelayan-nelayan Bali di pandangan Yunaldi, sejak lama, awalnya hanya mencari ikan hias di sekitar perairan Bali tetapi lama kelamaan migrasi juga.
“Bukan hanya di sini, tetapi sampai ke Sulawesi, Selayar, Wakatobi. Lalu tumbuh gagasan bikin terumbu karang buatan. Nggak jauh lagi setelah mulai bikin terumbu karang buatan,” imbuhnya.
“Kalau di sini (Buleleng), sudah turun temurun, sudah 3 generasi. Dari kakek sudah jadi nelayan ikan hias. Tahun 70-an sudah perdagangan ikan hias, pertentangan itu pasti ada,” katanya.
Yunaldi acap mendengar bahwa ada pandangan yang menyebut pariwisata bahari akan susah berdekatan dengan praktik eksploitasi.
“Akan ada pertentangan seperti itu tapi tentu kita hanya melihat bahwa lama-lama, ada pertemuan, pertemuan stakeholder perikanan. Itu mereka support sama-sama, satu tim menjaga laut,” katanya terkait kolaborasi para pihak dalam mendorong pariwisata dan perikanan berkelanjutan.
Yunaldi mengutarakan bahwa dari proses yang ada menunjukkan adanya pembelajaran sosial.
“Dari awal, saya snorkeling 200 meter ke luar, ikan ada satu dua, karang mati semua. Tapi setelah perbaikan, tahun 2001, 2002, 2003, akhirna karang baik lain, ikan ada,” lanjut Yunaldi.
Perkembangan baik itu kemudian meluas hingga desa lain, ke kecamatan, dari Les Tejapura Bulelelng ke desa-desa lain. “Perubahan siginikan, masyarakat menyadari sampai konservasi sekali. Kalau lihat Nemo, kalau ada 5 diambilnya 3, dua ditinggalin. Ke depan, akan sustainable,” imbuhnya.
Apa yang disampaikan Yunaldi ini merupakan cerminan kesadaran warga. “Pada tingkat kelompok, kalau melanggar aturan akan dikeluarkan dari keompok dan adat,” ujar Yunaldi.
Di Buleleng, Yunaldi melihat bahwa inisiatif pengelolaan daerah perlindungan laut berjalan baik. Lokasi-lokasi tersebut menjadi dive spot, menjadi target tamu resor untuk rekreasi.
Transfer kapasitas
Lalu seperti apa transformasi LINI ke individu, ke kelompok masyarakat terkait upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan?
LINI menurut Yunaldi mengadopsi pendekatan atau pengembangan kapasitas dengan melibatkan warga lokal. Ini bermula misalnya bagaimana warga Buleleng jadi narasumber bagi wilayah lain. “Mereka jadi trainer kita, mereka dibawa ke Sumatera, Pangkep, ke Kupang. Kita bawa mereka, berbekal dari pengalaman mereka,” lanjut Yunaldi.
Apa yang dijalankan, dikelola atau dijaga di desa-desa pesisir Buleleleng seperti Desa Les di Kecamatan Tejakula dalam menjaga ekosistem terumbu karang termasuk spesies langka dapat diadopsi ke tempat lain. “Kita bawa mereka untuk memberikan penjelasan,” katanya.
“Bagaimana mengadopasi kegiatan di sini untuk misalnya di Banda Neira, ada program terkait ikan tuna, bedanya di ikan, tapi program pendekatan tidak berbeda,” tambahnya.
“Kalau tuna di Banda Neira sudah berjalan berapa tahun, sudah hampir sertifikasi, seperti arahnya ke sertifikasi. Kalau nggak Covid sudah sertifikasi,” lanjut Yunaldi.
Bagi Yunaldi, ada hal menarik saat bicara keberlanjutan program konservasi atau pemberdayaan masyarakat. Sejak desa-desa di Buleleng tak lagi dapat sponsor atau donor, mereka bisa memulai mempertahankan atau melanjutkan program dengan mengoptimalkan potensi tersedia.
“Di Desa Les, tidak ada funding sejak dari 10 tahun lalu, kita self financing, kita jadikan tempat di desa sebagai traninig center,” katanya.
Dengan demikian, lanjut Yunaldi, ada banyak pihak yang mau belajar ke sini. “Mahasiswa asing datang ke sini. Jadi, kita itu kerjasama dengan Murdoch University, dengan Western Austrlaia, di Hongkong. Tiap tahun mereka datang ke sini, ada Liverpool, Sussex,” paparnya.
Dengan model seperti ini, LINI atau desa-desa dampingan ini menjadi ramai oleh para pembelajar.
“Mereka datang beraktivitas, belajar, dan mereka itu bayar. Di sini kita ada yang magang, ada Hilmy dan Iqbal,” jelasnya sembari memperkenalkan kedua alumni Ilmu Kelautan ini. LINI menanggung penginapan bahkan memberi uang saku dan uang makan.
“Per kampus (luar negeri) biasa sampai 4 orang. Sekolah internasional, ada sehari, dua hari bisa sampai 50 orang, kalau yang lama, tadi dari kampus itu, bisa tesis, skripsi, ada agak lama. Kita ada homestay, ada rumah, kita rumah panggung, knock down dari Minahasa,” ungkap Yunaldi tentang sarana prasarana di LINI.
“Jadi untuk budidaya memang tidak bisa banyak, gak bisa masuk tetapi mereka bisa belajar untuk belajar ikan, nemo, ikan Banggai, untuk penelitian, seperti Iqbal yang skripsi di sini,” tambahnya.
Sementara itu, saat ditanya, Iqbal menyebut bahwa motivasi memilih LINI karena memang melihat LINI sebagai tempat belajar yang sesuai dengan harapannya.
“Kebetulan memang lagi nyari NGO, untuk membantu skripsi, temanya soal ikan karang. Kebetulan juga LINI dari tahun ke tahun, melalui instagram, selalu buka, open research untuk mahasiswa tingkat akhir,” terang Iqbal yang mengaku alumni Ilmu Kelautan Universitas Soedirman ini.
“Saya ikut meriset di LINI dan sangat terbantukan, karena biaya penilitian kan besar, saya terbantukan,” akunya. Setelah itu Iqbal mengaku mendapat tawaran dari LINI untuk magang.
“Jadi sebenarnya memang tempatnya pas banget untuk belajar,” tambah alumni S2 lingkungan pesisir pada Universitas Udayana Bali ini.
Sementara itu, Hilmy, peserta magang lainnya asal Universitas Brawijaya Malang menyebut bahwa dia juga mendapat informasi terkait LINI dan peluang magang via instagram.
“Saya sempat lihat LINI membuka kesempatan fresh graduate, dan saya mendaftar, saya sendiri juga juga sudah setahun lalu kenal waktu masih kuliah,” jelas Hilmy.
Saat ditanya apa yang berbeda di banding LSM lain, Hilmy menyebut karena adanya LINI aquculture training.
“Ada ketertarikan sendiri mempelajari ikan hias seperti Nemo atau Banggai Cardinal fish, jadi beda,” ucapnya.
Daya tarik Cardinal Fish
Yunaldi menjelaskan bahwa alasan mengapa LINI ikut pada proteksi ikan cardinal setelah berjalannya proses penelitian dan gagasan membawa isu Cardinasl Fish ke level CITES.
“Diajukan ke Cites tahun 2008 dan yang meneliti kebanyakan dari asing bahkan ikan ini sudah dibudidayakan di Amerika,” katanya.
“Jadi kita mau tahu juga, motifnya. Kenapa kita tidak bisa, padahal tiap tahun kita ambil datanya, ke CITES dan barengan data kita. Kita juga dorong pengelolaan oleh masyarakat. Sayang kan, ikan cardinal ini kebanggaan Banggai, ikan itu di daerah itu saja,” imbuhnya.
Mengapa cardinal. karena ikan ini ikan khas, ikan yang tidak pindah. Ikan bertelur, lalu pindah ke mulut jantan, 7 hari lalu menetas,” katanya. Ikan jantan yang menjaga ikan-ikan cardinal ini tidak makan. “Ikan ini kalau tidak dipindahkan gak akan ada. Ada yang dipindahkan ke Selat Lembeh, ke Gilimanuk. Itu bisa.”
Yunaldi menyebut bahwa ikan Cardinal unik dan berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa ikan ini bisa bertahan pada habitat yang juga ditemui adanya bulu babi (sea urchin), anemon dan sea-grass.
“Ikannya gak suka arus kuat,” kata alumni S1 jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Universitas Bung Hatta-Padang ini.
Tantangan ke depan
Ada beberapa isu yang perlu diantisipasi terkait masa depan konservasi ikan-ikan unik seperti Cardinal fish bahkan ikan lain seperti tuna sampai gurita. Menurutnya, beberapa daerah telah menjalankan program atau kebijakan konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan, melalui peraturan (RZWP3K), zonasi kawasan konservasi, pemanfaatan perikanan, dan lain sebagainya.
Menurut Yunaldi, pengelolaan sumber daya seperti gurita, tuna atau ikan cardinal membutuhkan dukungan dari banyak piihak. Pengelolaan atau zonasi merupakan hal yang diperlukan.
Bukan hanya semata menghasilkan zonasi tetapi koordinasi lintas aktor atau instutusi untuk sama-sama menjaga, mengelola dan mengembangkannya.
Beberapa inisiatif telah dijalankan seperti pelibatan Badan Usaha Milik Desa untuk menjaga habitat ikan cardinal ini seperti di Banggai Kepulauan, jadi setelah LINI atau LSM pendamping selesai tanggungnya jawab proyeknya, maka lembaga seperti Bumdes ini yang melanjutkan.
Sesuai pengalaman LINI, upaya-upaya peningkatan kapasitas oleh LSM dapat dilihat pada bagaimana memastikan pengelolaan areanya.
“Pada cara penangkapan, pada penentuan kuota, proses rehabilitasi termasuk bagaimana menjalankan artificial reef termasuk bagaimana mengelola bakau. Kalau berkembang bagus, ada homestay, warga bisa memperoleh manfaat dari tamu yang datang,” jelas Yunaldi.
Menurutnya, pengalaman terkait ikan cardinal ini menjelaskan bagaimana perubahan harga dari tahun ke tahun.
“Ikan ini diekspor. Harganya pernah sampai US$ 270 per ekor, setelah itu ikan kardinal membanjiri pasar Amerika dan Eropa,” katanya.
Temuan LINI, para pedagang bisa menjual hingga 20 ribu sekali pengiriman, lambat laut karena masif hingga terdampak ke harga ikan.
“Yang dikirim semakin banyak, bisa sampai 100 ribu ekor per bulan akibatnya harga anjlok, ndak sampai 2 dollar dan kalau di luar negeri palingan sampai 5 dollar,” sebut Yunaldi.
Apa yang dilakukan LINI saat ini menurut Yunaldi adalah membangun komunikasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP dan Kemenkomarinves terkait perlindungan spesies terbatas.
”Kita sudah banyak meeting dengan mereka untuk penentuan status, untuk dibawa ke level internasional. Dari dulu kita sudah akrab dengan KKP,” katanya. Baginya, pemberdayaan masyarakat pesisir itu dapat dikatakan berhasil kalau masyarakat dapat manfaat ekonomi.
“Tantangannya adalah bahwa kita tidak bisa hanya pada konservasi, melndungi ini, itu. Masyarakat harus diisi perutnya, kalau sudah nikmat, misalnya dari homestay, penghasilan lain dia dapat, kita pergi,” ucapnya.
“Mereka akan menjaga. Staf kita tidak ada di Banggai tapi masyarakat sudah melakukan sendiri. Mereka sudah ada spot terjaga,” tutup Yunaldi bangga.