PELAKITA.ID – Tulisan ini diilhami pertemuan saya dengan Kepala Dinas Perikanan Buton, Pak Rasmin Rahman yang mengatakan bahwa ada banyak warga Buton yang beroperasi di Laut Banda hingga Laut Arafuru. Ini terjadi karena potensi perikanan yang melimpah di sana.
Bukan hanya dari Buton, atau nelayan Bugis-Makassar Sulawesi tetapi dari Pulau Jawa. Dalam tiga tahun terakhir, nelayan asal Pantura semakin banyak yang beroperasi di sana. Mereka membawa kapal besar pencari cumi, kapal-kapal purse seine hingga armada pemancing tuna dan cakalang.
Menurut peneliti DFW Indonesia, Muhammad Arifuddin, nelayan-nelayan ini beroperasi di area pengelolaan perikanan atau WPP 718, salah satu WPP tersibuk dan terpadat di Indonesia.
“Cakupan perairan ini meliputi Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur. Area tersebut sudah menjadi operasi nelayan-nelayan Bugis, Makassar dan Buton tetapi saat ini semakin ramai oleh kapal-kapal ikan seperti pencari cumi dan purse seine asal Pantura,” kata Arifuddin, (20 Juli 2020).
Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (Januari 2018), kemampuan potensi perikanan di WPP 718 sebesar 2,6 juta ton. Angka ini sangat besar dan wajar jika WPP 718 menjadi salah satu area penangkapan ikan favorit.
Dengan potensi tersebut, jumlah yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk ditangkap sebesar 2,1 juta ton.
“Meski demikian, pengaturan alokasi kapal dan tangkapan sangat penting. Batas jumlah tangkapan adalah syarat untuk terus menjaga stok ikan di perairan tersebut. Di WPP 718, sumber daya ikan yang banyak dimanfaatkan jenis ikan karang dan cumi-cumi,” kata Arifuddin yang pernah jadi fasilitator DFW di Pulau Penambulai, Aru Tengah Selatan, Maluku.
Selain terbesar potensi perikanannya, menurut Atifuddin, WPP 718 juga paling banyak alokasi izin kapal. Penelusuran Pelakita.ID, jumlah izin kapal yang diberikan KKP di WPP 718 sebanyak 1.368. Bandingkan dengan alokasi untuk WPP 717 yang hanya 23 izin. WPP 717 meliputi Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik.
Sampai saat ini, tercatat ada lebih dari 500 jenis ikan dan sedikitnya 400 jenis krustasea yang hidup di Laut Arafura. Biota laut ekonomis lainnya yang terkenal dari daerah ini seperti lobster, teripang, hinga cumi-cumi.
Moratorium kapal eks asing yang beroperasi di WPP 718 Laut Arafura yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, telah memberikan peluang pemulihan sumberdaya ikan dan udang di Laut Arafura.
Potensi pengembangan
Apa saja yang bisa diinvestasikan di WPP 718? Yang paling umum dan dibutuhkan adalah pengadaan kasko kapal, pengadaan mesin dan alat tangkap serta pemberdayaan masyarakat nelayan setempat agar kompetitif dengan nelayan dari luar.
Patut dicatat bahwa sejauh ini, kapal-kapal yang datang dari Pantura seperti Probolinggo, Cirebon hingga Indramayu membawa ABK paling kurang 15 orang dan beroperasi selama beberapa bulan dan menggunakan Pangkalan Pelabuhan utama seperti Dobo, Tual hingga sampai ke Merauke.
“Sejauh ini kapal-kapal yang beroperasi di Laut Arafuru atau di sekitar 718 dalah kapal ikan di atas 100 groston,” kata Arifuddin.
“Nelayan skala kecil atau yang menggunakan perahu kecil juga sangat banyak, mereka ini yang perlu mendapat perhatian. Selain jumlahnya banyak, perlu pula dijaga area tangkapannya jangan sampai diintervensi nelayan besar. Ini tantangannya,” katanya.
Menurutnya, ke depan, untuk pengembangan WPP 718, diperlukan praktik tata kelola perikanan yang tak hanya memberi keuntungan bagi nelayan luar tetapi adanya peningkatan kapasitas nelayan setempat, baik dari sisi pendapatan ekonomi maupun pengelolaan WPP berbasis masyarakat lokal.
“Ekstensifikasi usaha dan jaminan keterbelian hasil perikanan, terutama ikan ekonomis seperti tuna dan ikan-ikan karang,” kata Arifuddin.
Di sisi lain, tanpa fasilitas atau sarana prasarana seperti pabrik es, cold storage yang memadai di sentra kelautan dan perikanan sekitar WPP 718 maka kualitas ikan yang ditangkap akan berkurang kualitasnya.
“Diperlukan model pengelolaan yang akomodatif dan memberi ruang untuk semua dengan mengacu kepada izin yang ada. Jangan tumpah tindih, jangan nelayan berizin kapal besar tapi beroperasi di wilayah tradisional. Ini penting supaya WPP 718 bisa menjadi ruang hidup bersama, lestari dan tak menimbulkan konflik pengelolaan antara nelayan kecil dan nelayan skala besar,” tutupnya.
Kontributor: Jawadin