PELAKITA.ID – Ainnur Mey Rokhii Mahi, mahasiswa semester lima Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin menuliskan pandangannya tentang Fenomena Beauty Privilege dan plus minusnya. Mari simak.
“Lu cakep, lu aman.”
Kalimat singkat ini sering berseliweran di media sosial, menjadi gambaran sederhana bagaimana seseorang dengan penampilan menarik cenderung lebih “aman” dari berbagai persoalan hidup.
Ungkapan lain seperti “orang cantik setengah masalahnya langsung selesai” semakin menegaskan adanya fenomena beauty privilege, yakni keistimewaan sosial yang didapatkan seseorang karena penampilannya yang dianggap memenuhi standar kecantikan tertentu.
Fenomena ini bukan sekadar mitos, tetapi sudah menjadi bagian dari realitas sosial yang mendorong banyak orang mendambakan kecantikan untuk mendapatkan berbagai keistimewaan tersebut.
Tentang beauty previlege
Beauty privilege dapat diartikan sebagai keuntungan sosial yang diperoleh seseorang berkat penampilan fisiknya.
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh seorang mahasiswa di Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan bagaimana standar kecantikan memainkan peran besar dalam memengaruhi cara seseorang diperlakukan oleh lingkungan sekitarnya.
Dalam penelitian itu, salah satu informan menceritakan bahwa sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia menyaksikan teman sekelas yang memiliki ciri fisik “blasteran” kerap mendapat perlakuan istimewa.
Dari tempat duduk spesial di kelas hingga kemudahan dalam tugas sekolah, semua perlakuan ini menjadi bukti bahwa kecantikan memberikan keistimewaan sosial yang tidak selalu didapatkan oleh semua orang.
Fenomena serupa juga terungkap melalui sesi tanya jawab yang saya adakan di Instagram. Beberapa teman berbagi pengalaman mereka terkait beauty privilege.
Salah satunya berkata, “Beauty privilege senyata itu. Saya sudah mengalami beberapa kejadian. Salah satunya, kita lebih dihargai ketika berpendapat atau melakukan sesuatu dan lebih mendapatkan perhatian, entah itu dari lawan jenis di satu kelompok atau komunitas yang sama.”
Namun, pengalaman yang berlawanan juga diungkapkan oleh responden lain.
“Yah memang benar adanya menurutku. Contohnya saja pada saat saya bergabung di salah satu ekskul di sekolah. Karena mungkin diriku tidak begitu cantik, jadilah sasaran empuk. Sempat dikucilkan dan sering diintimidasi oleh senior, diperlakukan tidak adil juga sudah kualami,” tuturnya.
Pernyataan-pernyataan ini menggambarkan dua sisi beauty privilege, dari yang mendatangkan penghargaan hingga diskriminasi terhadap mereka yang dianggap tidak sesuai standar kecantikan.
Fenomena ini telah mendorong industri kecantikan berkembang pesat. Beauty influencer, klinik kecantikan, dan brand skincare serta makeup menjadi semakin populer.
Di balik maraknya produk kecantikan, ada ancaman serius. BPOM baru-baru ini merilis daftar 55 produk skincare berbahaya, termasuk enam di antaranya yang ditemukan mengandung merkuri di Sulawesi Selatan.
Merkuri adalah bahan yang sangat berbahaya, dapat merusak kulit, ginjal, hingga memicu kanker jika digunakan secara berkepanjangan. Fakta ini menunjukkan bahwa dorongan untuk memenuhi standar kecantikan tidak selalu berakhir positif.
Meski demikian, tidak semua orang memilih jalan berisiko untuk tampil menarik. Ada yang menempuh cara sehat yang justru membawa dampak positif bagi kesehatan mereka. Misalnya, penggunaan sunscreen.
Banyak orang awalnya menggunakan sunscreen untuk mencegah kulit mereka menjadi gelap akibat paparan sinar matahari. Namun, menurut Kementerian Kesehatan, manfaatnya jauh lebih besar.
Sunscreen mampu melindungi kulit dari bahaya radiasi UV yang dapat menyebabkan penuaan dini, menurunkan sistem kekebalan tubuh, menyebabkan kanker kulit, hingga melasma. Begitu pula dengan olahraga.
Meski niat awalnya sering kali untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal, kebiasaan ini membawa manfaat kesehatan yang tak ternilai, seperti meningkatkan kebugaran tubuh. Namun, sisi gelap tetap ada. Beberapa orang memilih jalan pintas yang membahayakan kesehatan mereka, seperti mengonsumsi obat pelangsing berbahaya.
Risiko
Menurut BPOM Semarang, obat-obatan seperti ini sering mengandung bahan kimia berbahaya, salah satunya sibutramine.
Zat ini awalnya digunakan untuk mengatasi obesitas, bekerja dengan mengatur zat kimia di otak yang mengendalikan nafsu makan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sibutramine meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular.
Itulah mengapa BPOM telah membatalkan izin edarnya sejak tahun 2010.
Selain sibutramine, banyak produk pelangsing lainnya yang menggunakan bahan berbahaya yang bisa merusak organ tubuh seperti kulit, hati, dan ginjal jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Dari sini terlihat bahwa beauty privilege adalah fenomena yang kompleks. Di satu sisi, kecantikan dapat menjadi motivasi untuk hidup lebih sehat, seperti dengan menjaga pola makan, berolahraga, atau melindungi kulit dari paparan sinar matahari. Namun, di sisi lain, tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis dapat mendorong seseorang mengambil risiko besar yang membahayakan kesehatannya.
Fenomena ini pun membawa kita pada pertanyaan besar: apakah beauty privilege menjadi inspirasi sehat atau justru mendorong tren berbahaya?
____
Artikel ini tayang sebagai kerjasama penulis dengan Pelakita.ID untuk promosi dan perilaku kesehatan