PELAKITA.ID – Adalah Ema Husain yang japri via WA. Aktivis Sayap Perempuan Anti Korupsi SPAK itu mengajak menonton film ‘Pulang Tak Harus Rumah’.
“Mauka saya.” Jawab istri.
Anak saya yang bungsu mau nonton tapi dia ingin judul film lain. Batal.
Suasana di CGV Panakkukang Square riuh oleh calon penonton yang sebagian besar dari Komunitas Perempuan Tangguh Kota Makassar.
Kata Ema, ada minat yang besar dari sejumlah perempuan yang menjadi mitra interaksinya untuk menonton bersama, mereviu bersama.
“Jadilah film ini kita pilih,” kata Ema terkait komunitas perempuan yang disebutnya sering berinteraksi, berbagi cerita tentang isu-isu anak, perempuan, disabilitas dan antikekerasan perempuan dan antikorupsi itu.
Di pelataran bioskop sudah ada kolega lain akademisi FH Unhas Sakka Pati, ketua harian IKA Unhas Sulsel Harun Ar Rasyid, politisi Perindo Rahmansyah, Ema dan koleganya dari SPAK.
Saya dan istri kebagian kursi nomor 9 dan 10.
Film dibuka dengan tayangan ketika seorang anak usia sekira 14 atau 15 tahun kencing berdiri menghadap batang sungai – sepertinya Jeneberang di kehidupan sesungguhnya.
Seorang perempuan muda, yang belakangan diketahui ibu anak itu menunggui sang anak sebelum merngarah ke rumah panggung.
Rumah itu – yang kalau pembaca pernah ke kawasan Benteng Somba Opu lokasinya di lekukan jalan yang di belakangnya ada ruas sungai Jeneberang. Tapi di setting film ini tidak disebutkan lokasinya. Tidak ada penggambaran wilayah administrasi atau kawasan geografinya.
Kembali ke ibu anak itu.
Sang Ibu bernama Inara – diperankan dengan memikat oleh Michelle Amelia C Liliputra. Anaknya Jeihan.
Oleh Inara Sang Anak dititip ke kakeknya bernama Puang Sinar yang diperankan oleh sahabat kita Abdul Rodjak yang kondang dengan gelaran Petta Puang. Kenal kan?
Konflik film itu adalah kehendak Sang Ibu yang menitipkan anaknya, sementara Ia harus kembali ke ruitinitas pekerjaan dan sedang bersoal dengan suaminya. Meski dia sendiri juga bersoal dengan Sang Ayah karena memutuskan menikah tanpa restu Puang Sinar.
Konflik mengalir, menguat, kala Sang Kakek menemukan Jeihan yang tak betah dan kecanduan gadget, main game dan tak nyaman karena di desa sulit cari koneksi internet.
Konflik mengular tentang suami istri yang berperkara, rutinitas orang tua yang megambil waktu, perhatian yang kurang, pengaruh lingkungan yang kuat, godaan internet dan jalan pintas untuk bersenang-senang menjadi persoalan di film ini. Dampaknya pada anak-anak yang tak lagi senang baca buku, tak lagi bermain layaknya mainan leluhur orang tua mereka nun lampau.
Meski, di film ini ‘keluhuran desa’ tetap ditampilkan sebagai opsi. Ada a’raga atau main takraw, main layangan hingga menikmati indahnya batang sungai, aliran air dan pohon-pohon nan rindang.
Bagi saya, setting atau nuansa film ini di keseharian sangat Barombong, sangat Jeneberang dan sangat Selatan Makassar. Tapi juga mewakili desa sungai secara umum. Tentang rumah-rumah di sempadan sungai, lelorong dan jalur basah dan kadang penuh genangan persoalan.
Penulis pernah bersepeda ke kawasan ini dan familiar dengan suasananya termasuk dermaga penyeberangan di sepanjang Mallengkeri hingga destinasi Tama’la’lang dan Barombong.
Begitulah sosodata.
Film Pulang Tak Harus Rumah karya anak Makassar ini mulai diputar pada Senin, 15 Januari 2024.
Kalau membaca poster filmnya sebagai sutradara adalah Rusmin Nuryadin dengan produser Liani Kawati dan David Tjioe. Rusmin saya kenal sebagai penulis sekaligus sutradara yang banyak memuji keindahan sosial budaya Sulawesi Selatan dan juga kritis pada dinamika sosial yang problematik ke warga.
Perihal kepindahan sementara seorang anak kota ke desa itu adalah pintu masuk memahami realitas di desa – meski tidak terlalu digambarkan di film ini. Tentang warga yang tak terhubung internet, tentang salat berjamaah, tentang mandi di sungai dan lain sebagainya.
Saya kira, film ini punya pesan moral dengan cerita keluarga yang perlu bahu membangun katakter baik untuk anak-anak kita.
Pesan untuk para generasi Z dalam memanfaatkan waktu sebaik mungkin tak tidak lengah dengan godaan internet, gadget, game.
Di situlah perlunya peran orang tua untuk memberi pilihan, mengatur dan mengarahkan dengan baik. Bermain, berinteraksi dengan teman dan membaca buku bisa menjadi pilihan lainnya.
Untuk anda yang ingin tahu nama-nama pemain film ini, berikut ini adalah nama dan peran mereka. Alfi Rafael Karim berperan sebagai Jeihan. Abdul Rodjak berperan sebagai Puang Sinar.
Lalu ada Michelle Amelia C Liliputra yang berperan sebagai Inara sementara Jelov Thalia Matarru yang bermain sangat menawan berperan sebagai Uleng. Ada juga Iwan Coy yang bandel serta Sarifah Hana sebagai ibu Uleng.
Tujuh pesan
Bagi penulis, ada sekurangnya tujuh pesan yang ingin disampaikan film ini. Saya kira, karena ini pula Ema Husain dan perempuan Tangguh Kota Makassar itu mengapa memilih film ini untuk reviu bersama.
Pertama, keluarga kita, anak dan orang tua sedang didera sejumlah tantangan. Tentang bagaimana menggunakan piranti komunikasi, gadget yang baik dan tak menyita waktu. Sementara di sisi lain semua mesti menyiapkan masa depan. Pendidikan dan karakter yang baik.
Game itu sungguh nyata menyiksa sehingga perlu diatur dengan baik, sebagaimana Jeihan yang harus pulang subuh ke rumah kakek hanya karena kecanduan main game.
Kedua, untuk genarasi Z, film ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui bahwa ada banyak pilihan untuk mengisi waktu kita.
Hanya perlu memikirkan mau ke mana setelah ini, mau bersenang-senang terus, atau menempa diri dengan berinteraksi positif, menjaga kualitas moral, peduli agama, beribadah.
Jelas sekali film ini mengajak penonton untuk membaca buku – terima kasih bung Rusmin Nuryadin, bermain dengan kawan, dekat dengan alam, dan pada saat yang lain harus patuh pada arahan orang tua: beribadah dan menjaga silaturahmi.
Di film ini ditunjukkan dampak bagi anak desa yang mulai kecanduan gadget, videocall tak elok – bahkan berbohong demi citra diri, seolah-olah kaya.
Ketiga, suasana perdesaan bisa menambah keragaman pengetahuan anak-anak kita, Gen Z. Orang tua perlu sesekali membawa anak kota mereka untuk akrab dengan sungai, dengan pepohonan, juga aneka kebudayaan atau tradisi yang ada.
Tak harus takluk ke desa tetapi bisa menambah perbendaharaan Gen Z tentang realitas lalu menyesap dalam-dalam sebagai pesan luhur kehidupan. Apalagi kalau ini dilakukan berulang-ulang dan menyenangkan untuk anak-anak kita. Ayooo, kapan kita ke kampung kakek-nekek?
Keempat, Gadget bukan musuh tetapi mesti digunakan dengan baik, perlu time management, kedisipilinan dan tak membuat kita abai pada tanggung menyiapkan masa depan. Di sisi lain, orang tua juga harus bisa ‘marah yang benar’, harus ada ‘anger management ‘ juga.
Sebab, bisa jadi karena gadget pula, kita harus merogoh kocek demi pulsa, data, atau bahkan memperbaikinya dengan biaya mahal. Bagaimana kalau orang tua kita tak punya uang? Masa’ mesti men…
Kelima, interaksi sosial sangat penting, di situlah kita bisa memperkuat kepedulian satu sama lain, bisa antar rumah tangga, bisa antar anggota keluarga.
Bagaimana caranya? Di film ini ditunjukkan dengan salat jamaah, main olahraga bersama, silaturahmi, saling memberi nasehat dan kebaikan.
Keenam, orang tua, kakek-nenek, atau yang lebih tua dari kita selalu ingin memberikan yang terbaik, hanya saja kadang caranya tidak dianggap baik oleh anak atau yang di bawahnya.
Bisa jadi karena sang anak terpengaruh lingkungan atau cara penyampaian pesan yang tak pas, di film ini ditunjukkan dengan membangun komunikasi, mengecek peristiwa, dan mencari tahu di mana mismatch atau disconnect-nya.
Bertemunya Ibu Jeihan dan suaminya di ujung film ini adalah contoh bentuk komunikasi yang baik bisa perlahan menuntaskan persoalan.
Ketujuh, pergi laloki nonton, bawa anakta, kalau yang usia SMA enggan – seperti anak saya yang belum mau itu, yang SMP sede’, kalau dia juga tidak mau bawa yang usia SD atau TK, ini kesempatan yang baik untuk mengisi benak mereka tentang realitas, tantangan dan peluang mempebaiki masa depan generasi. Tsah!
Penulis
Kamaruddin Azis, founder Pelakita.ID tinggal di sempadan Tamarunang – Jeneberang