PELAKITA.ID – Bau laut kini tercium sampai ke bekas pemukiman warga kota yang porak-poranda itu. Pahit. Saya mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah.
Begitu kalimat yang berada dibalik lipatan sampul depan buku ini. Bagi saya, buku ini, terasa istimewa.
Terasa kuat dalam memadukan pengamatan dengan wawasan yang didapatkan dari bacaan. Nezar Patria, penulisnya.
Ada 29 tulisannya di media massa, media sosial, dan jurnal ilmiah populer, yang terhimpun dalam buku ini.
Siapa Nezar Patria itu. Ia aktivis pro-demokrasi.
Semasa mahasiswa, Nezar menjadi Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi. Ia diburu rezim Suharto, waktu itu, ditangkap, disiksa hingga berdarah-darah.
Dari dunia aktivis mahasiswa, ia bekerja sebagai jurnalis. Dari Majalah Tempo hingga The Jakarta Post, juga Dewan Redaksi Jurnal Prisma.
Sempat nenjadi pejabat BUMN, saat ini menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia.
Benar, Nezar itu pencerita yang baik. Cara dia membuat judul dan lead (teras berita, alinea pembuka) itu memikat banget.
Ia membuat rasa penasaran, kalau tidak selesai membacanya sampai akhir kalimat.
Salah satu tulisannya. Hasan Tiro, Nietzche dan Aceh. Perhatikan alinea pembukanya.
“Hasan Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friederich Nietzche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.:
Nezar, saya rasa, juga seorang pembaca yang kuat, melakukan perenungan yang dalam. Filsafat dan Jurnalisme: Pencarian Makna di Balik Berita.
Tulisan yang memukau saya. Apa kontribusi filsafat pada jurnalisme. Apa pula yang dilakukan jurnalisme untuk filsafat. Kebenaran yang diperjuangkan filsafat dan juga jurnalisme, sama-sama memikul risiko.
Nezar memperingatkan pada kita. Tanpa filsafat, jurnalisme bisa terjerembab ke dalam lembah ignoransi, dan membiarkan dirinya menjadi alat kekuatan-kekuatan tertentu yang menutup tugas jurnalis mewartakan kebenaran.
Tanpa sikap kritis, jurnalisme bisa saja mereproduksi kesalahan berpikir, atau juga menghilangkan fakta penting di bslik struktur logika bahasa.
Sastrawan Inggris, George Orwell, kata Nezar, memusuhi kalimat pasif. Karena, baginya, kalimat pasif punya makna politik, hilangnya tanggung jawab subjek.
Saya mesti colek kawan saya Zulkarnain Hamson juga kawan Kamaruddin Azis [founder berita maritim Pelakita.ID yang pernah tinggal di Aceh].
Saya ingin bilang. Sumpah, buku ini bagus banget. Sayang kalau dilewatkan begitu saja.
Saya tuliskan kembali apa yang dibilang Leila S Chundori. Nezar menggunakan segenap indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan segala lapisan perasaan saat menuliskan: “Sebulan lalu saya masih bisa tidur nyenyak di lotengnya. Kini tinggal selembar dinding beton menuding langit. Gentengnya terbang entah kemana”.
Leila menutup kata pengantar, dengan kalimat: Salah satu buku yang wajib menjadi bacaan bagi mereka yang berpikir kritis adalah catatan-catatan sejarah karya Nezar ini karena Sejarah Mati di Kampung Kami. Dan ‘kampung’ kita sebetulnya adalah rumah kita bernama Indonesia.
Penulis: Judi Rahardjo tinggal di Makassar