PELAKITA.ID – Adanya bunker Jepang di Lakkang, Kecamatan Tallo adalah peneanda bahwa kawasan itu strategis. Setidaknya bagi serdadu Jepang di tahun 40-an itu.
Letaknya sekitar batang Sungai Tallo menjadikan kawasan ini dulunya – bahkan sekarang – mudah diakses dari pesisir laut Kota Makassar dan menjadi jendela membaca pergerakan utara-selatan di timur Kota Makassar.
Sejarah terbentuknya kawasan permukiman Lakkang menurut cerita warga adalah pada tahun 60-an. Itu setelah kawasan ini aman dari tantara sekutu dan juga huruhara politik. Ada juga yang menyebut Lakkang dihuni jauh sebelum maklumat kemerdekaan 1945.
Generasi yang tinggal di sana sebut generasi ketiga. Jika ini benar maka kemungkinan besar kawasan ini eksis sejak awal abad 20.
Menjadi nelayan, petani, pedagang serta pekerja di Kota Makassar adalah pilihan pekerjaan warga Lakkang. Ada juga yang buka usaha bengkel setelah jalur Tallo ke Lakkang semakin mudah, sebagian jalan setapak dan pematang tambak jadi jalur transportasi seperti motor. Beberapa komunitas sepeda juga ke Lakkang via Tallo.
Jumlah penduduk Kelurahan Lakkang pada tahun 2019 tercatat 973 jiwa yang terdiri atas 493 jiwa laki-laki dan 480 jiwa perempuan.
Tribun Timur menuliskan Lakkang artinya melekat. Nama Lakkang diambil dari nama orang Daeng Rilakkang yaitu orang yang memimpin dan mengarahkan orang untuk mengungsi ditempat yang aman diwaktu perang melawan gerilyawan.
Setelah penumpasan pasukan gerilyawan, warga kembali dipimpin oleh Daeng Rilakkkang untuk membangun rumah yag telah rata dan diporak- porandakan oleh gerilyawan.
Akhirya setelah membawa kembali penduduk pulau, maka warga menjadikan Dg. Rilakkang sebagai pemimpin di Pulau Lakkang. Akhirnya beberapa tahun kemudian, pulau yang dulunya disebut “Bonto Mallangere’ berubah menjadi Pulau Rilakkang atau Pulau Lakkang sesuai dengan kesepakat warga yang ada di sana.
Luas Kelurahan Lakkang yaitu 0,65 Km2. Kampung ini adalah kampung kelahiran Ketua DPRD Kota Makassar.
Beberapa isu
Isu dalam pengertian ini adalah sesuatu yang perlu menjadi ‘collective concern’ kita atas apa yang terjadi dengan ekosistem di sekitar kita. Jika tiada inisiatif untuk mengendalikan atau menghentikannya maka kelak akan jadi persoalan berbahaya di masa depan. Kra-kira begitu.
Nah, berdasarkan obrolan di grup WAG Kolaborasi Alumni Unhas, ada beberapa isu yang perlu diantisipasi terkait Lakkang, bukan hanya Lakkang tetapi bagaimana manajemen Sungai Tallo agar bisa melanggengkan fungsi ekologi dan ruang hidup warga di sana, baik sebagai kawasan budidaya ikan dan udang maupun sebagai lahan persawahan.
Pertama, membatasi perambahan hutan mangrove dan menjaga agar tidak ada instrusi air sungai atau muara jauh masuk ke perkampungan yang tidak terlalu luas itu.
Kampung kecil bernama Lakkang ini adalah pulau delta dan rentan jika tidak ada regulasi yang membatasi pemanfaatan ruang hijau.
Kedua, ada jejak sejarah pertempuran di Lakkang. Jepang membuat bunker dan ini berate bahwa kawasan ini mempunyai posisi strategis.
Bunker dimaksud bisa menjadi ‘tugu peringatan’ bahwa dulu, kawasan ini jadi rebutan antara Indonesia dan Jepang. Menjadikan Lakkang sebagai destinasi wisata bunker berikut kawasan konservasi adalah pilihan yang bisa pertimbangkan atau dimaksimalkan oleh Pemkot.
Ketiga, imbas pembangunan permukiman karena semakin bertembahnya penduduk bisa saja berdampak ke suasana Lakkang.
Pembukaan Lakkang untuk destinasi wisata harus diantisipasi dengan pengembangan kapasitas warga untuk dapat mengambil peran. Demikian pula pada usaha perikanan seperti budidaya udang dan ikan.
Perlu dukungan agar berlangsung praktik perikanan yang ramah lingkungan, tak lagi menebang mangrove. Selain itu, perlu pengaturan sempadan untuk tidak diklaim oleh warga sebab sempadan dan batang sungai adalah kewenangan Negara.
Keempat, trend pemanfaatan lahan sempadan di Sungai Tallo dari waktu ke waktu semakin masif.
Rumah warga kerap diperluas ke batang sungai, demikian pula pengembangan wisata sungai yang kerap mengambil bagian sungai. Ini perlu pengendalian atau setidaknya penegakan hukum agar tidak menimbulkan konflik ke depannya.
Belum lagi kabar yang sudah lama berhembus, lahan-lahan permukiman, persawahan, bahkan tambak sudah banyak yang diatasnamakan orang dari kelurahan sebelah, pun pengusaha real estate.
Kelima, sinergi Pemerintah Provinsi, otoritas pengelolaan sungai BBWS Pompengan – Jeneberang dan Pemerintah Kota Makassar menjadi niscaya.
Sinergi ini dalam hal proteksi agar sungai dan sempadan normal dan tak terbelit persoalan kekeliruan pengelolaan atau pemanfaatan.
Menjaga sungai tetap bersih, akses untuk semua, memberi manfaat sosial, ekonomi dan keberlanjutan fungsi ekologi adalah dambaan kita semua, termasuk anggota WAG Kolaborasi Unhas ini.
But who cares?
Denun, Tamarunang., 24/1/2023