Dia selalu bangga sekolah di SMA yang sama dengan “Pak JK” (Jusuf Kalla)- Wapres RI ke-10 dan 12, yakni SMA 3 Kota Makassar. Di sekolah berlokasi di Jalan Baji Areng itulah yang dulu dikenal sekolahnya para aktivis.
PELAKITA.ID – Seorang perempuan berjalan menuju panggung. Mengenakan busana sederhana, dibalut baju putih. Masih muda. Berhijab. Dia pun menenteng gitar.
Sosok itu mengundang penasaran yang hadir. Saya pun menebak dia akan bernyanyi. Dengan lagu pop atau komposisi lain yang lagi hits. Apalagi sebelumnya diperkenalkan oleh MC (master of ceremony) sebagai “Rising Star”, jebolan ajang pencarian bakat disebuah TV nasional.
Alangkah terkejutnya saya, saat pertamakali mendengar tarikan vokalnya. Suaranya bening. Yang bikin penasaran, lirik lagunya. Sayup-sayup cukup familiar. Aransemen musiknya terdengar lain dari biasanya.
Tebakan saya meleset. Dengan petikan gitar elektrik ditangan, dia melantungkan lagu daerah Bugis dari Sulawesi Selatan. Judulnya: “Tana Ogi Wanuaku”.
Itu lagu lawas yang sejatinya bernada sedih, mengisahkan kerinduan seorang perantau akan kampung halamannya. Tapi dia membawakan dengan ungkapan gembira (rhapsody).
Oleh perempuan muda ini, sebuah senandung lokal mengalami transformasi. Lebih ngepop, asyik dan irama musiknya kekinian.
Itu kesan saya dalam dalam suatu kesempatan pulang kampung. Di Makassar, Sulawesi Selatan. Awal Maret 2022. Menghadiri hajatan akbar alumni Universitas Hasanuddin (Unhas).
Di penghujung kegiatan, panitia menyajikan acara ramah tamah dan hiburan.
Perempuan muda itu dipanggil Anggi. Lengkapnya Nurul Athifah Anggraeni. Itu nama dunia nyata. Di dunia maya namanya:AnggiAthifah. Sudah tersebar diberbagai channel dan platform sosial media.
Kenal? Kalau anda warga netizen, pasti tahu perempuan bertubuh mungil yang memiliki kemampuan olah vokal diatas rata-rata.
Sejak kapan Anggi suka membawakan lagu-lagu daerah?
“Sudah lama sejak kecil. Saat dia masih berusia sembilan tahun. Waktu itu pertama kali tampil di acara Jumbara PMI,” kata Darmawansyah Rachman, sang ayah yang kebetulan duduk satu meja dengan saya. Ada juga ibunya Masnidar.
“Keinginan siapa?” tanyaku.
“Dia sendiri,” jawab ibunya yang berdarah Bugis Soppeng.
Sebenarnya ini pertemuan kedua saya dengan Anggi. Kali ini dia kelihatan lebih dewasa. Sebelumnya dia aktif dalam kelompok “Teater Tiga”, salahsatu eskul masa SMA-nya.
Bukan sebagai pemain atau aktris. Tapi penata musik. Beberapa kali Anggi dkk menyabet jawara festival teater pelajar antar SMA Se-Sulawesi Selatan. “Anak ini berbakat. Suaranya bagus….,” bisik saya dalam hati.
Anggi lahir di kota Makassar. Persisnya, tiga hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia, 14 Agustus 2000. Anak sulung dari dua bersaudara.
Dia selalu bangga sekolah di SMA yang sama dengan “Pak JK” (Jusuf Kalla)- Wapres RI ke-10 dan 12, yakni SMA 3 Kota Makassar. Di sekolah berlokasi di Jalan Baji Areng itulah yang dulu dikenal sekolahnya para aktivis.
Dia alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas). Lulusan cum laude di Jurusan Komunikasi, pertengahan 2022. Kini, Anggi tinggal di Makassar. Bersama orang tuanya. Masih jomblo. 22 tahun.
Tercatat sudah banyak lagu daerah yang dia aransemen ulang. Juga pernah ikut kontes nyanyi di sebuah televisi swasta. Beberapa cover lagu daerah-nya saya koleksi. Mudah didapatkan. Tersebar di platform sosial media. Bahkan, saya juga temukan ada lagu daerah yang dicover dengan musik swing jazz oleh komunitas pemusik jazz setempat.
Sebenarnya sebelum Anggi, effort serupa sudah dilakukan oleh sejumlah penyanyi dengan tembang daerah Jawa. Sebut saja almarhum Didi Kempot dengan “campur sari”nya.
Kemudian generasi berikutnya ada penyanyi Via Valen, Denny Caknan, dan terakhir muncul dan sempat viral penyanyi cilik Farel Prayoga dengan lagu Jawa “Ojo Dibandingke”.
Boleh dibilang, Anggi dan banyak penyanyi lainnya adalah produk talenta unggul yang lahir dan berkembang dari rahim kemajuan teknologi di era disrupsi dan popularitasnya terdongkrak melejit bak meteor dari berbagai event, kontes serta ajang pencarian bakat yang marak tersaji di layar kaca.
Lalu publik dimudahkan mengakses, mengcreate serta memproduksi narasi dan broadcast yang menimbulkan euforia dan viral. Masyarakat, terutama netizen kemudian terlibat dalam kemudahan meng-campaign kreativitasnya. Mereka beruntung, menemukan momentumnya.
Itu satu hal. Hal lain, karena yang membawakannya seorang anak muda. Mengapa? Pada masa sekarang tidak banyak- kalau tidak mau dibilang langka- kaum muda dari generasi milenial yang tertarik.
Apalagi mau mempopulerkan lagu-lagu daerah. Mereka lebih suka dan tertarik dengan lagu pop, lagu asing, Tiktok dan semacamnya.
***
Berkaca dari serpih jejak di atas, sejauh mana Anda masih mengenal lagu-lagu daerah di Indonesia?
Masih ingatkah Anda dengan lagu-lagu daerah seperti “Es Lilin”, “Ampar Ampar Pisang”, “Ondel-ondel”, “Kampuang Nan Jauh di Mato”, “Gundul-Gundul Pacul”, “Cik-cik Periok”, “Angin Mammiri”, “Sapu Tangan Babuncu Ampat”, dan lainnya?
Seiring perkembangan zaman, lagu-lagu daerah terpinggirkan. Eksistensinya bahkan terancam punah. Ironisnya, lagu-lagu daerah hanya mendapat tempat di panggung-panggung pesta pernikahan.
Hari jadi daerah atau ajang lomba khusus lagu dengan bertema kedaerahan. Kalah populer dibanding lagu-lagu pop dan barat. Banyak orang terutama generasi muda cenderung tidak melirik atau bahkan tidak tahu dan hafal lagu daerahnya sendiri.
Kondisi kurangnya kepedulian masyarakat, khususnya kalangan generasi muda, terhadap lagu daerah itulah yang kemudian membuat Anggi terpanggil dan termotivasi.
Dia merasa perlu mengangkat pamor senandung lokal. Sejumlah lagu daerah yang dulu populer dikemas sedemikian rupa dengan aransemen berbeda. Hal itu salah satu cara mempopulerkan kembali lagu-lagu etnik kepada anak-anak muda jaman sekarang.
Dalam berbagai kesempatan berbeda, melalui kiriman video dari kawan, saya menyaksikan aksi Anggi mencoba menarik kembali minat masyarakat dengan mengaransemen lagu daerah ke dalam nuansa genre pop kekinian.
Pada pertunjukan tersebut, lagu-lagu daerah Nusantara seakan “naik kelas”. Yang banyak diangkat Anggi, lebih khusus pada lagu daerah tanah kelahirannya, Bugis Makassar.
Sebut saja “Anging Mammiri”, “Minasa riborita”, “Ana Kamase”, “Je’ne mata kukang”, “Alosi Ri Polo Dua”, dan deretan lagu daerah yang lainnya. Anggi berpandangan, cara melestarikan lagu-lagu daerah: yah…dengan menyanyikannya!
Dia tak melulu tampil sendiri. Anggi juga kerap berkolaborasi dengan musisi dengan genre lain. Memperkaya khazanah lagunya. Hentakan nada, petikan gitar, dan sesekali alunan saxophone membuat penonton terpukau dengan penampilannya.
“Saat diajak berkolaborasi, tanpa pikir panjang saya langsung setuju. Sebagai orang Indonesia kita mesti turut bangga dan menjaga kelestarian kekayaan budaya kita,” katanya saat dihubungi melalui perbincangan via Whattsap, pertengahan Oktober 2022.
Kita sudah tahu, tambah Anggi, bahwa orang-orang atau anak muda sekarang lebih suka TikTok atau lagu-lagu pop.
“Lantas terpikirkan kenapa kita nggak mencoba memperkenalkan lagu-lagu daerah dengan suasana dan musik sekarang. Ternyata asyik, pas kita dengar, pas kita bawain juga ternyata asyik dan keren juga.“
Cara ini cukup efektif. Kini lebih banyak lagi lagu-lagu daerah yang di-cover anak-anak muda.
Meski bertajuk senandung lokal, namun diolah sedemikian rupa oleh Anggi. Dia mengajak penonton turut bernyanyi. Gembira dan ceria, meski liriknya patah hati. Memaksa penonton menggali kembali memori mereka akan lagu daerah yang pernah didengarnya di masa lampau.
Wajah puas tampak dari para penikmat seni setelah menyaksikan performancenya. Sejak itu, order nyanyi pun mengalir deras dari komunitas, perusahaan, komunitas, kantor/lembaga dan lainnya.
Awalnya sedikit kesulitan mengubah aransemen lagu-lagu yang bernuansa asli daerah masing-masing menjadi pop kekinian, tapi Anggi mengaku merasa tertantang.
“Justru itu challenge. Kami sengaja mengangkat lagu-lagu daerah yang sudah familiar dengan tujuan untuk mengingatkan kembali. Jadi apapun etnis dan berasal dari belahan Indonesia mana pun yang mendengarnya, mereka tak kesulitan untuk menikmati musik tersebut,” ungkapnya.
Meski jarang disorot lampu dan minim publikasi, tak menyurutkan langkah kecil yang ditapaki Anggi untuk terus menerus bisa menginspirasi. Terutama bagi kaum muda dan generasi milenial. Dan kelak diharapkan bisa bermunculan Anggi-Anggi lainnya di seluruh Nusantara.
Ke depan, Anggi tetap konsisten mengangkat lagu-lagu daerah klasik Nusantara dengan aransemen pop kekinian. Dengan begitu, budaya Indonesia yang beragam dan unik dapat diperkenalkan lebih jauh lagi ke khalayak luas, terutama bagi kalangan generasi muda. “Jangan sampai anak muda tercabut dari akar budayanya,” tegasnya.
Betapapun beberapa lagunya bersemat lirik berbahasa daerah. Tapi itu bukan hambatan untuk menyimak alunan musik yang bergaung. Anggi tetap bangga. Baginya, konteks bahasa menjadi nomor sekian. Notasi dan harmoni, itulah yang menyergap hati para penikmat musik sejati.
Dan, suara bening Anggi tetap menggelayut di kuping kita dan kaum muda. Seolah mengirim pesan: mencintai senandung lokal, mencintai Indonesia…!
Editor: K. Azis