PELAKITA.ID – Antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya A. Afiff, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia periode 2021 – 2026 pada Kongres AAI yang diselenggarakan secara daring, Minggu (11/4/2021).
Kongres juga memilih Selly Riawanti sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Etik AAI.
Suraya nantinya akan melaksanakan sejumlah agenda program, di antaranya konsolidasi organisasi, Pengembangan program sub-field berbasis isu, mengadakan konferensi, menyelenggarakan job fair, mengembangkan masterclass, peningkatan publikasi ilmiah harus kerja-kerja profesi antropolog.
Sementara ketua dewan pertimbangan Etik akan menyempurnakan pedoman etika.
Kongres AAI yang dilaksanakan selama dua hari, 10-11 April 2021, mengangkat tema “Memajukan Kebudayaan untuk Indonesia Tangguh”, antara lain diikuti Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Hilmar Farid, Duta Besar Republik Indonesia untuk Afrika Selatan, Perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dari Ethopia, perwakilan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), perwakilan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), dan perwakilan dari Akademi Kuliner Indonesia (AKI), serta diikuti oleh ratusan Antropolog yang tersebar di seluruh tanah air, baik akademisi, peneliti, konsultan, praktisi, dan pemerhati budaya.
Dian Rosdiana, Sekjen AAI 2016-2021, dalam paparannya menyampaikan bahwa pada periode pengurusan sebelumnya, 2016-2021, AAI mengalami berbagai macam kendala, namun dengan segala upaya dan waktu yang dicurahkan permasalahan dapat teratasi secara perlahan dengan membangun sistem kepemimpinan kolektif kolegial.
“Kami melibatkan seluruh pengurus dalam menguatkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme musyawarah yang sangat kental dengan prinsip-prinsip kekerabatan dan kebersamaan untuk membangun organisasi,” katanya.
Menurut Dian, saat ini kepengurusan daerah mengalami peningkatan jumlah yang cukup signifikan, dengan adanya 18 Pengda. Pengurus daerah merupakan salah satu centerpiece dari kerja AAI dan menjadi garda terdepan bagi pemajuan profesi antropologi di daerah.
“Pada kepengurusan daerah ini sudah banyak dilaksanakan beragam kegiatan advokasi pemberdayaan peningkatan wawasan yang telah memberikan dampak secara langsung bagi profesi antropologi dan masyarakat di wilayah masing-masing. Ada juga kerjasama dengan mitra nasional dan daerah, mengalami peningkatan yang cukup baik,” jelasnya.
Ia mencontohkan, di tingkat nasional misalnya pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia untuk mendorong kebinekaan merupakan kerjasama dengan komunitas AUI atau Antropologi Untuk Indonesia.
Hal lainnya adalah menjalin kerjasama dengan 4 organisasi profesi IAAI (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia), IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia), dan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) untuk mendorong pelestarian cagar budaya yang berkelanjutan.
Ada juga program pemajuan kebudayaan bekerja sama dengan BNPB untuk pengendalian Covid-19.
“Namun, sebagai capaian tersebut, juga menjadi sebuah tantangan yang dihadapi oleh antropologi sebenarnya, di masa yang akan datang,” tambahnya.
Beberapa catatan penting dari kongres ini, lanjut Dian, antara lain tantangan dalam meningkatkan kepedulian antropolog terhadap organisasi AAI, dan di saat bersamaan juga bagaimana organisasi bisa memberikan manfaat bagi para antropolog yang telah menjadi anggota.
“Kita tahu jumlah antropolog di Indonesia sangat besar, namun hanya sebagian kecil yang mengetahui keberadaan AAI dan bersedia bergabung bersama AAI.”
Tantangan lainnya adalah menyiapkan AAI untuk menjadi organisasi yang mempunyai posisi tawar yang lebih baik di hadapan publik, akademisi, swasta dan masyarakat sebagai organisasi yang mengedepankan rasa kemanusiaan dan keragaman sosial-budaya.