PELAKITA.ID – Pernah dengar Ocean Eye? Jika belum, Ocean Eye adalah sebuah aplikasi teknologi keuangan (fintech) inovatif yang dapat digunakan oleh industri pariwisata bahari.
Seperti apa penerapannya? Ini bisa diterapkan oleh operator selam dan wisatawan, untuk melaporkan keberadaan spesies karismatik atau unik, di area Kawasan Konservasi Perikanan (KKP) serta kawasan serupa lainnya.
Informasi dari keberadaan spesies karismatik tersebut akan menjadi dasar dalam menentukan sejumlah sumbangan atau donasi minimalis untuk masyarakat sebagai kontribusi dari wisatawan yang berwisata ke daerah pesisir untuk mendorong perlindungan biota ini.
Dana tersebut dapat menjadi pendapatan alternatif dari ekstraksi sumberdaya laut secara langsung. Aplikasi ini memungkinkan masyarakat untuk menerima sumber pendapatan dari upaya konservasi.
Prototipe pertama Ocean Eye telah dapat digunakan dan diuji coba lapangan pada triwulan akhir 2020 di Morotai, Maluku Utara. Pemilihan Morotai karena merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia yang terkenal dengan lokasi menyelam bersama hiu.
Dengan adanya Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang baru dibentuk di Morotai pada tahun 2020 ini, Ocean Eye ingin memberdayakan dan menyediakan insentif kepada masyarakat sekitar dan operator pariwisata untuk mendukung upaya konservasi jangka panjang di daerah tersebut.
Patut dicatat bahwa KKP Rao-Tanjung Dehegila yang baru dibentuk di Morotai ini merupakan salah satu kawasan konservasi perairan (KKP) yang didukung pengembangannya oleh Proyek USAID SEA pada kurun 2016 hingga 2021.
Dukungan itu nampak pada bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dalam merencanakan lokasi dan zona, melakukan survei dasar dan membantu pembuatan rencana pengelolaan KKP.
“Kawasan Konservasi Perairan akan mendapat banyak manfaat dari penerapan Ocean Eye,” kata Alan White, Chief of Party Proyek USAID SEA.
Unit kerja proyek tersebut mencatat bahwa terdapat tiga operator selam di Morotai yaitu Shark Diving Indonesia, Dive Morotai dan GOMO yang telah setuju untuk menggunakan dan mencoba aplikasi Ocean Eye.
Selain itu, ada tiga komunitas masyarakat lokal yang berada di pulau-pulau kecil di tengah KKP dengan keanekaragaman hayati ini, akan menjadi penerima dana jasa ekosistem yang dilakukan oleh wisatawan yang berkunjung.
Berdasarkan pemodelan dan proyeksi yang dilakukan, serta data pengamatan yang dikumpulkan selama survei daya dukung pada tahun 2019, dana pembayaran dari pertemuan dengan spesies yang diharapkan ini akan memberikan pendapatan ke masyarakat mencapai US $400 ribu pada tahun ke-6.
Pada basis harian per penyelam, dana yang dikumpulkan diproyeksikan lebih dari dua kali lipat pada periode berbeda, dari US $4,50 di tahun pertama menjadi US $10,20 di tahun ke-6. Ini mencerminkan peningkatan pertemuan dengan populasi spesies yang pulih dan lebih banyak wisatawan yang mengunjungi Morotai.
Sherly Tjoanda, ketua tim penggerak PKK Pulau Morotai menyatakan bahwa Ocean Eye akan merevolusi cara masyarakat pesisir mendapatkan insentif untuk mendukung konservasi laut jangka panjang.
“Sekaligus dapat membantu mendukung pemulihan spesies penting seperti hiu, pari, penyu, dan spesies lain yang ingin dilihat oleh wisatawan,” tambahnya.
Penggunaan dana
Di bawah ini adalah ringkasan rencana penggunaan dana yang akan diterima oleh masyarakat dari dana jasa ekosistem melalui Ocean Eye
Pertama, Desa Ngele-Ngele. Mereka berencana untuk menjalankan program konservasi seperti restorasi terumbu karang dan melakukan kegiatan pendidikan dan edukasi peduli lingkungan di sekolah setempat.
Kedua, Desa Galo-Galo. Masyarakat berencana untuk mendukung kelompok usaha wanita dalam meningkatkan keterampilan, pemasaran dan produksi
Sementara di Desa Kolorai, mereka berencana untuk melakukan pemantauan rutin di Kawasan Konservasi Perairan untuk menjaga wisata bahari tetap lestari dalam upaya mendukung upaya konservasi dan mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan di Kolorai seperti penguatan POKDARWIS.
Meskipun pandemi melanda, Morotai tetap menerima beberapa turis penyelam domestik saat ini yang memungkinkan pengumpulan data frekuensi pengamatan berbagai hewan serta menetapkan harga ideal per penglihatan per spesies.
Penyaluran dana untuk masyarakat akan menggunakan uang tunai untuk saat ini, tetapi pada percobaan ini, akan pula mengidentifikasi mekanisme transfer digital berbiaya rendah yang paling sesuai untuk daerah tersebut.
Setelah uji coba pada triwulan akhir 2020, Ocean Eye akan siap untuk meningkatkan skala global dan membantu mengarahkan upaya konservasi di dunia pariwisata pasca pandemi.
“Pandemi telah menunjukkan kepada kita dengan jelas bahwa masyarakat tidak memiliki insentif jangka panjang untuk konservasi, di banyak daerah perburuan satwa liar telah marak terjadi,” kata Sari Tolvanen, CEO Ocean Eye.
“Ocean Eye kini dapat membantu memastikan bahwa dengan situasi pandemi, tidak harus mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati,” tegas Sari.
Untuk informasi kontak lebih lanjut: sari@oceaneye.io. Bahasa Inggris: Sari Tolvanen w/a +6282237668620 atau Bahasa Indonesia: Paul Eka w/a +6282237166313. Press kit: https://drive.google.com/drive/folders/1XK436ZR8kldooKRHeCTZNHd0hKVPQlSl?usp=sharing. Ikuti cerita terkait hal di atas di instagram: @ocean_eye_app.
Editor: K. Azis