Rumi, Jiwa, dan Takdir

  • Whatsapp
Illustrasi Jalaluddin Rumi (https://www.cyruscrafts.com/)

Pada akhirnya, satu-satunya kekayaan yang bertahan adalah cinta, persatuan (pada yang dipilih), dan ingatan kita kepada Sang Pencipta.

PELAKITA.ID – Rumi sering merenungkan tentang harta, takdir, dan kepemilikan. Namun, sebagaimana biasa ia lakukan, persoalan yang tampak duniawi ini ia bingkai dalam cara pandang yang mistis.

Bagi Rumi, pada akhirnya tidak ada satu pun yang benar-benar menjadi milik kita—bahkan hidup yang sedang kita jalani pun bukan milik kita sepenuhnya—karena semua adalah titipan dari Sang Ilahi.

Salah satu ungkapannya yang kerap dikutip berbunyi:

“Terimalah pergantian musim dalam hidupmu. Janganlah bersedih atas kehilangan harta benda, sebab apa yang hilang akan kembali dalam wujud lain. Takdirmu telah ditulis oleh Yang Maha Esa, dan satu-satunya kepemilikan sejati adalah kedekatan jiwamu dengan Tuhan.”

Ungkapan ini jelas bukan berbicara tentang hak kepemilikan dalam arti hukum atau ekonomi. Ia berbicara tentang kepemilikan spiritual. Harta, status, bahkan jalan hidup yang kita anggap sebagai “milik” hanyalah sementara.

Pada akhirnya, satu-satunya kekayaan yang bertahan adalah cinta, persatuan, dan ingatan kita kepada Sang Pencipta.

Dalam banyak puisinya, terutama dalam Masnavi, Rumi menegaskan beberapa gagasan penting. Pertama, bahwa apa yang kita kira milik kita, sejatinya justru sering kali memiliki kita.

Ambisi, harta, dan kuasa bisa menjadi penjara halus yang mengekang jiwa. Kedua, takdir—atau qadar—bukanlah sebuah kebetulan. Ia ditenun dengan penuh cinta oleh Sang Kekasih, dan karena itu, meratapinya hanya akan menambah beban jiwa.

Ketiga, kekayaan yang paling sejati bukanlah tumpukan emas atau luasnya tanah, melainkan kerelaan untuk berserah pada kehendak Ilahi.

Rumi mengajarkan bahwa perjalanan manusia di dunia adalah perjalanan pulang.

Apa pun yang kita genggam di sepanjang jalan—rumah, tanah, perhiasan, bahkan reputasi—pada akhirnya harus dilepaskan. Semua itu hanyalah pakaian sementara bagi jiwa.

Maka, pertanyaan yang paling penting bukanlah “apa yang kita miliki,” melainkan “seberapa dekat jiwa kita dengan sumber segala milik, yaitu Tuhan.”

Pesan ini begitu relevan di tengah dunia modern yang kerap menilai manusia dari apa yang dimilikinya: rumah besar, kendaraan mewah, jabatan tinggi.

Rumi mengingatkan kita untuk kembali bertanya: adakah ruang di hati kita untuk keheningan, cinta, dan pengakuan bahwa diri kita sendiri adalah milik Allah?

Dengan demikian, “hak milik” dalam perspektif Rumi bukanlah soal benda, tetapi soal jiwa.

Takdir bukanlah belenggu, melainkan jalan yang sudah dirancang penuh kasih untuk menuntun kita pulang. Dan kepemilikan sejati bukanlah tentang harta duniawi, melainkan tentang kedekatan abadi dengan Sang Maha Pemilik.

Sorowako, 4 September 2025