Kepak Bangau di Dermaga Untia

  • Whatsapp
Bersukacita di Dermaga Untia (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Waktu menunjuk pukul 5 sore. Saat senja sebentar lagi menepi, cahaya lembut berpendar dari tepi laut Selat Makassar. Belasan bangau berhamburan saat kami meniti dermaga sembari menyapu pandangan ke hamparan mangrove yang belum lama ditanam oleh warga setempat, 12/07/2016.

Penanaman mangrove adalah ide warga untuk menyelamatkan masa depan pesisir salah satu kelurahan potensial di timur Makassar, Sulawesi Selatan ini. Blue Forests, sebuah LSM lingkungan berbasis di Makassar menyebutkan bahwa di Sulawesi Selatan, kondisi hutan mangrove terus mengalami degradasi yang hebat.

Melalui Direkturnya, Yusran Nurdin Massa disebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, masih ada sekitar 214 ribu hektar dan pada 2014 tersisa 23 ribu hektar. Nyaris mendekati angka 90 persen.

“Jika tak dilakukan tindakan pencegahan maka kelak mangrove akan hilang di Makassar,” tegas Yusran saat ditemui di Jakarta pada pelatihan fasilitator Propesisir Pantura dan Pesisir Selatan, 19/07/2016.

Bagi Yusran, pembukaan tambak massif dan permukiman baru menjadi penyebab utama degradasi mangrove.

Khusus untuk Makassar, Yusran mengatakan bahwa ke depan, lokasi-lokasi yang masih menyimpan kawasan mangrove di Makassar harus segera dilestarikan seperti Lakkang, Lantebung hingga Untia. “Lestarikanlah sebelum hanya tinggal cerita,” pesannya.

***

 

Oleh Pemkot Makassar, Kelurahan Untia merupakan salah satu lokasi proyek pemberdayaan masyarakat pesisir yang merupakan kerja sama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD).

“Salah satu alasan memilih Untia adalah potensi mangrove dan upaya peningkatan pendapatan warga yang berdiam di dalamnya,” kata Ir. Asmi, aparat senior di Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Peternakan (DKP3) saat ditanyakan upaya Pemerintah Kota menata pesisir Untia, (12/07/2016).

Dalam bahasa Indonesia, Untia adalah pisang. Tak banyak yang tahu mengapa kampung ini disebut Untia. Yang dipahami bahwa mereka adalah komunitas migran dari pulau seberang, Pulau Lae-Lae yang dapat ditempuh selama sejam dengan menggunakan mesin tempel. Warga yang bermukim di Untia saat ini tiba di pertengahan tahun 90-an. Meski ada pro-kontra gagasan wali kota Malik B. Masry saat itu namun terlaksana jua.

“Sekitar 50 persen warga Lae-Lae saat itu sedia pindah ke kawasan Untia dan Salodong, Kecamatan Biringkanaya,” kata Abu Tase’, warga setempat yang dijumpai pada sore tanggal 12 Juli 2016 di dermaga Untia.

“Saya ingat saat itu ada 226 kepala keluarga di Lae-Lae dan seperduanya bersedia pindah, termasuk saya,” lanjut Abu.

Menurut Abu, saat itu memang banyak LSM yang menyampaikan ke warga untuk tidak pindah, tetap bertahan namun dia memilih ikut program Pemerintah; pindah ke Untia.

“Jadi kalau dihitung-hitung, kami di sini, sudah 15 tahun pindah dari Lae-Lae,” kenang Abu yang mengaku kelahiran Gowa dan mempunyai istri orang Lae-Lae. Sementara itu, Mita Susita, perempuan yang sedang menadah dair dari pipa PDAM yang mulai mengalir, mengaku pindah ke Untia sejak kecil.

“Saya lahir di Lae-Lae. Saat masih kecil ikut ke sini,” aku Mita Susita.

Dibantu KKP

Menurut Kepala DKP3 Kota Makassar, Abd Rahman Bando, pengembangan Untia mencakup beragam aktivitas, seperti pembangunan infrastruktur pondok informasi kelurahan, rumah produksi, bantuan modal untuk menghasilkan produk-produk pasca panen seperti bakso, ikan kering hingga nugget.

“Bukan hanya itu, kita juga kembangkan potensi sumber daya pesisir mendukung inisiatif warga merehablitasi mangrove dan menyiapkan infrastruktur dermaga,” katanya.

“Pak Abu ini merupakan aktor penting yang membangun infrastruktur bersama anggotanya,” ungkapnya saat mendampingi tim South South and Triangular Cooperation (SSTC) IFAD yang datang dari Brazil dan Roma pada 18 Juli 2016. Menurut Rahman, peran Abu dan anggota kelompoknya sangat nyata dalam merealisasikan berdirinya dermaga ini dalam tahun 2015. Penerima manfaatnya juga jelas, warga dan nelayan di Untia.

“Bapak lihat sendiri, saat surut nelayan masih harus mendorong perahunya ke laut, dengan adanya dermaga ini tentu sangat membantu. Kita setuju untuk menambah panjang dermaga dengan memanfaatkan dana PMO Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui skema CCDP-IFAD,” terangnya. Apa yang diucapkan oleh Rahman ini juga diamati oleh tetamu dari luar negeri tersebut.

Abu Tase’, pria usia 60an tahun ini tersenyum bersama tiga perempuan belia ponakannya di atas dermaga yang dibangunnya bersama tujuh warga lainnya yaitu, Irsan, Hendriadi, Thamrin, Daeng Nai, Rala Daeng Mile, Sainuddin dan Samsuddin.

Abu adalah ketua kelompok Cendana Putra, kelompok infastruktur yang diberi mandat merencanakan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur tahun anggaran 2015. Pekerjaan pembanguan dermaga mini bantuan KKP ini volumenya 100 m2 x 2 m2.

“Nilainya bantuan langsung ke kami sebesar Rp 163.165.000,” kata Abu sembari menunjukkan prasasti pendirian bangunan tersebut.

“Nah ini yang menarik, model kerja sama antara masyarakat Untia dan pemerintah ini bisa mengurangi kebocoran dana sebab warga sendiri yang merencanakan dan melaksanakan, bayangkanlah kalau ini dikerjakan kontraktor,” ujar Kadis Rahman disertai gelak.

Sementara itu, meski mengaku bukan nelayan, Abu sangat terbantu dengan dermaga ini, memudahkan usahanya termasuk berkunjung ke Lae-Lae, silaturahmi dengan keluarganya di sana.

“Saat dermaga ini belum ada, kami ke kota lewat jalan tol, lama sekali, harus naik perahu di Kayu Bangkoa kalau mau ke Lae-Lae, sekarang lebih mudah,” ungkap suami Asiah, orang tua dari Nasrullah, Ansar, Irnawati dan Irsan. Hanya Irsan yang belum menikah 20 tahun.

“Butuh waktu 50 hari untuk menyelesaikan dermaga bantuan ini,” kata Abu bangga. Meski demikian, karena panjangnya pantai saat surut sehingga masih banyak perahu yang kesulitan untuk merapat ke dermaga.

“Harus menunggu saat air pasang,” kata Abu. Oleh sebab itu, menurut Abu, tahun ini kelompok Cendana Putra mengusulkan bantuan untuk perpanjangan dermaga sepanjang 80 meter.

“Kalau sudah ditambah 80 meter saya kita akan semakin banyak pappalimbang yang sering ke sini,” katanya. Pappalimbang yang dimaksudkan adalah perahu penumpang berkapasitas 8 orang yang melayani rute Kayu Bangkoa ke pulau-pulau kecil Makassar.

Apa yang disampaikan Abu ini dicermati sebagai peluang untuk pengembangan kawasan wisata mangrove Untia. Di mata Abd Rahman Bando, gagasan ini akan ditindaklanjuti untuk pengelolaan yang lebih baik dan terpadu.

“Bantuan untuk masyarakat Untia menjadi bukti komitmen Pemkot dan KKP. Kita benahi kelompoknya dulu, kalau mereka bisa mengelola ini kita pasti berjuang untuk keberlanjutannya,” katanya. Tahun ini ada rencana menambah 80 meter melanjutkan 100 meter dan lebar 2 meter yang sudah ada. Dana yang dibutuhkan tidak kurang 200 juta.

Selain bukti kesungguhan warga melalui kelompok Cendana Putra, masyarakat Untia juga peduli dengan eksosistem mangrove yang menurutnya juga mengalami penyusutan karena pembukaan tambak dan permukiman.

Untuk urusan mangrove ini muncul sosok Hamzah. Meski bukan merupakan penduduk asli Pulau Lae-Lae yang migrasi ke Untia, namun Hamzah mengaku bersosialisasi dengan warga lainnya.

Hamzah mengaku bangga bisa menjadi mitra bagi tenaga pendamping lapangan bernama Astaman. Dari Astaman dia mengatur rencana pelaksanaan rehabilitasi ekosistem mangrove di Untia, termasuk memilih bibit mangrove.

“Bantuan untuk kami sebesar 40 juta, ada delapan anggota kelompok dan kami siapkan bibit hingga 10 bibit perorang,” terang Hamzah. Selain membeli bibit dia juga dilengkapi peralatan-peralatan penanaman dan perawatan.

“Saya bukan asli Lae-Lae. Dapat kesempatan tinggal di sini karena diajak oleh tetangga di Soppeng,” kata Hamzah. Sebelum tinggal di Untia, Hamzah bekerja di peternakan manta Gubernur Sulsel Palaguna. Meski tak bisa menghitung secara rinci luas mangrove Untia namun Hamzah mengaku kawasan mangrove Untia sangat panjang.

“Tebalnya sekitar 100 sampai 200 meter. Kalau diperkirakan sekitar 5 hektar. Mungkin,” katanya terkekeh.

Proses penanaman oleh kelompok Hamzah ini bermula dari penyediaan bibit oleh warga, sejak lama. Dengan masuknya CCDP, jumlah bibit diperbanyak oleh Hamzah dan kelompok Lestari.

Kelompok Hamzah berdiri pada tahun 2014 dan sejak berdirinya itu dia dan anggotanya telah ikut pelatihan-pelatihan penguatan kelompok termasuk peningkatan kapasitasnya mengenai eksosistem mangrove, ekologi dan biologinya.

“Saya juga pernah dilatih oleh Pak Yusran Nurdin dan Prof Amran Saru dari Unhas,” kenangnya.

 

***

Sementara itu menurut Dr. Andi Tamsil, konsultan untuk pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya pesisir mengatakan bahwa capaian di Untia sangat menggembirakan setidaknya jika membaca fakta-fakta dan geliat partisipasi warga dalam setiap program yang datang maupun yang direncakanan sendiri oleh warga sejak awal.

“Mereka sangat kooperatif. Secara lembaga sudah ada, yang kedua lahan juga sudah tersedia, akses juga sudah dibuka dengan adanya dermaga, dekat dari bandara jadi dapat menjadi lokasi wisata pesisir,” katanya. Selain pertimbangan potensi sumber daya alam mangrove, Untia mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai lokasi pariwisata, basisnya pada mangrove dan view sunset dari sisi barat kampung.

Menurut Tamsil, selain pulihnya ekosistem, upaya pelestarian mangrove di Untia menggembirakan sebab sudah mampu merealisasikan penanaman meski anggaran minimum.

“Kelompok pelestari pesisir seperti Pak Hamzah ini bisa menjadi mitra siapa saja dengan bersedia menyiapkan bibit mangrove meski hanya dihargai seribu rupiah perpohon. Sudah banyak pihak yang berdatangan ke sini seperti unit Kementerian Sosial dan Balai Karantina Makassar. Mereka terkesan dengan masa depan mangrove Untia,” pungkas Tamsil.

 

Penulis: K. Azis

 

 

Related posts