PELAKITA.ID – Redaksi PelakitaID membaca respon antusias pembaca media ini setelah membagikan tulisan penjelasan Unhas atas dosen dan tenaga kependidikan yang tepapar Covid-19.
Tulisan ini berisi penjelasan Direktur Komunikasi Unhas, Suharman Hamzah, PhD, HSe, tulisan yang menghentak namun sarat makna.
Hingga artikel ini dibuat sudah viewed hingga 4 ribuan, jumlah yang sangat banyak untuk media yang belum genap dua minggu eksis ini. “Readers mau membaca Unhas, mau membagikan tautannya untuk khalayak, ini bukti cinta,” demikian sangkaannya.
Pada artikel itu ada satu paragraf yang istimewa dan menunjukkan bagaimana si penulis membaca situasi terkini, proses pengambilan keputusan yang berdimensi jauh ‘beyond’. Meski itu pedih, sakit dan mencipta genangan di kolam mata para pencari hikmah, bagi yang punya ikatan mata batin dengan Kampus Merah.
Paragraf yang meraba sekaligus mengantisipasi mekarnya potensi penghakiman publik, bibit sinisme atau bisa jadi ketakutan-ketakutan baru saat Unhas berani jujur dan terbuka atas realitasnya, atas interior organisasinya.
“UNHAS sadar sepenuhnya bahwa menyampaikan secara terbuka sivitas akademika yang terkonfirmasi Positif Covid-19 memiliki risiko terhadap reputasi institusi UNHAS.”
Bagi kita semua, paragraf di atas merupakan refleksi atau respon manusiawi Unhas atas realitas, fakta, persepsi, ekspektasi interior mereka jika dikaitkan posisinya pada jejaring insitusi terpandang dan mulia, kampus, pemerintah, swasta hingga masyarakat sipil di Sulsel atau Indonesia secara umum, bahkan global.
Pernyataan yang secara implisit dan eksplisit menggambarkan bahwa keputusan apapun yang dihasilkan Unhas pasti akan menimbulkan pro dan kontra, suka atau tidak suka, puas atau tidak terhadap satu keadaan atau isu: pandemi dan kualitas respon manajerial organisasi.
Nah, saat membaca Unhas dan dimensinya termasuk cara mereka mengambil posisi, tentu tak bisa dilepaskan dari kelindan fakta-fakta ‘non-Unhas’ yang sangat dominan di Kota Makassar belakangan ini.
Ada kritik elite Unhas atas ketidakserasian proses dan praktik perencanaan pembangunan di Sulsel. Juga tentang penggantian mendadak Pj Wali Kota Makassar (asal Unhas), tentang zona merah Makassar yang tak jua berganti kuning atau hijau, tentang citra banal para pengusaha lokal yang melabrak aturan dan membiarkan toko, pusat bisnis, restoran, terus menganga mesti suasana Makassar terus mencekam karena pertambahan jumlah pasien Covid-19.
Candaan netizen bahwa sukses tidaknya penanganan Covid-19 di Sulsel berbanding lurus dengan aksi penon-aktifan Pj Wali Kota sungguh tajam, bahwa turunnya angka penderita akan dapat mendongkrak populeritas Gubernur atau Pj Wali Kota juga sungguh menyedihkan.
Akibatnya, yang mengemuka adalah bulan-biulanannya para cendekia bergelar Profesor (yang juga asal Unhas) di ranah politik praktis Sulsel dan Wali Kota, hal yang menjadi ‘alat penekan positif’ bagi Unhas sebagai organisasi agung untuk memilih ‘standing out from the crowd’, ketimbang saling hujat antar lembaga.
Apa itu? Unhas membuktikan perlunya solusi kuat dan berani agar bisa keluar dari ketidakpastian karena pandemi: melakukan tes rapid plus swab bagi dosen dan tenaga pendidikannya.
Tidak tanggung-tanggung, ribuan telah dan akan diperiksa. Inisiatif yang kemudian membuktikan bahwa dosen dan tenaga pendidik mereka yang terpapar, bahkan beberapa dekan.
Tulisan ini ingin memberi penanda sekaligus garis tebal bahwa solusi programmatik hanya bisa datang dari ikhtiar penghimpunan data, informasi aktual atau faktual, bahwa dengan jelasnya ‘data pasien’ berikut peta domisili dan interaksinya maka akan muda dilokalisir dan diberi solusi.
Membatasi pergerakan warga adalah salah satu jalan, tapi jalan yang lebih penting mesti terjal bisa jadi perlu dipikirkan. Unhas, pada posisi itu akan sangat mudah (meski sesak) memetakan di titik mana masalah dan isunya untuk ditawarkan ‘program dan kegiatan solutifnya’.
Dengan mendata dan menghimpun bekal informasi pasien atau yang terpapar, Unhas kini sudah bisa ‘move on’ sebagai organisasi efektif dalam memberi solusi atas eskalasi virus ini.
Bukankah selama ini para dosen, para cendekia, para Profesor selalu mengajarkan perlunya data, informasi, pendedahan saintifik dan eksperiental dalam menyelesaikan problematika kehidupan?
Jika demikian adanya, harusnya para pengeritik, para pihak, para ‘haters’ Unhas, atau mereka yang (tak) mencintai Unhas sudah bisa memindahkan perhatiannya pada organisasi lain yang juga punya sehimpun cendekia, pemikir, profesor yang tak melakukan apa-apa kecuali pledoi dan janji-janji tak bertepi – karena takut citranya lebih dari sekadar merah tapi suram.
Untuk apa pindah sasaran ketidakcintaan? Untuk memindahkan aura atau gairah konstruktivisme ke pihak lain. Unhas sudah membuktikan sebuah pakem atau alur pemecahan masalah, pihak lain harus melakukan hal yang sama.
Mereka tak perlu malu sebagai ‘entitas’ atau institusi meski pun itu kadarnya 24 karat politis atau populisme.
“Oh, come on, jammaki takut, data dan periksa sajalah semua, misalnya para ASN dan jejaring kerjanya.” Ini akan menjadi salah satu pintu masuk mengubah zona atau warna kemerahan itu.
Di ujung curhat redaksi ini, ingin membagikan respon penulis asli ‘penjelasan Unhas atas dosen dan tenaga pendidikan yang terpapar Covid-19’ di atas pada paragraf akhir renungan di sini.
Tanggapan yang bisa disebut mengutas tali silaturahmi dan perlunya dukungan atas upaya-upaya brilliant dan tak biasa dari ‘Ayam jantan gagah perkasa’ ini.
“Siap kanda, terima kasih dukungan-ta selalu, Unhas besar karena kita semua, salam hormatku buat senior, sehatki selalu semua kanda. Aamiin.”.
“Iye, kita juga.”