Innalillahi wa innailaihi rajiun…
PELAKITA.ID – Di ruang perawatan itu, layar monitor tak berhenti memberi informasi. Angka-angka bergerak tanpa emosi, grafik jantung naik-turun seperti ombak kecil yang tahu pantainya kian dekat.
Saya duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan ayah yang makin lemas. Hangatnya masih ada, nadinya masih berdenyut, meski tak lagi meyakinkan.
Mata saya bergantian menatap wajahnya dan layar monitor. Di sana, tubuh dibaca dengan sangat teliti: jantung, paru-paru, tekanan darah. Sains bekerja dengan kejujuran dingin.
Ia mengabarkan apa yang melemah, apa yang hampir selesai. Namun justru di hadapan data yang lengkap itu, saya merasa ada kekosongan besar. Sebab satu hal tak pernah muncul di layar adalah kapan ruh benar-benar dijemput pulang.
Saya mendampingi dalam arti yang sesungguhnya. Mata telanjang saya menyaksikan kehidupan berkemas. Dalam diam itu, terlintas sebuah pikiran yang nyaris lancang.
Andaikan ada layar lain, layar yang bisa memonitor aktivitas malaikat pencabut nyawa. Atau layar yang menunjukkan kesiapan hati untuk bertemu Tuhannya.

Pikiran itu segera saya sadari bahwa manusia selalu ingin mengukur, bahkan pada hal yang oleh Allah sengaja menyembunyikannya.
Ajal, dalam pandangan Islam, bukan peristiwa medis. Ia adalah ketetapan. Al-Qur’an menyebutnya bahwa ketika ajal tiba, ia tak dapat dimajukan atau ditunda walau sesaat.
Imam Al-Ghazali mengingatkan, sakit hanyalah alamat, bukan sebab. Tubuh yang melemah hanyalah tanda di permukaan. Yang mencabut hidup bukan kerusakan organ, melainkan keputusan Allah yang menarik izin-Nya dari jasad.
Maka layar monitor itu sesungguhnya hanya membaca tubuh yang sedang ditinggalkan, bukan ruh yang sedang dipanggil.
Tentang ruh, bahkan wahyu pun memberi batas. “Ruh itu urusan Tuhanku,” kata Al-Qur’an, seolah menegur keingintahuan manusia yang sering lupa adab.
Para sufi menerima batas itu dengan kerendahan yang indah. Ibn ‘Arabi menyebut ruh sebagai hembusan Ilahi—nafas Tuhan yang dititipkan pada tanah agar ia bisa mengingat, mencinta, dan merindu.
Ruh tidak lahir bersama tubuh, dan tidak mati bersamanya. Tubuh hanyalah persinggahan sementara. Ketika ia rapuh, ruh tidak rusak. Ia hanya bersiap pulang.
Saya melihat nafas sang ayah mulai berat, terputus-putus seperti kalimat yang kehabisan kata. Dan entah mengapa, di titik itu saya merasa: yang letih bukan ruhnya. Yang sedang dilepaskan adalah dunia.
Sering kali ada yang membayangkan malaikat maut sebagai sosok mengerikan. Padahal dalam penjelasan para ulama, Izrail tidak sadis dan tak pernah ragu. Ia hanya patuh. Ia tidak membaca grafik jantung, tidak menunggu alarm medis. Ia menunggu perintah.
Tafsir klasik menjelaskan, bagi hamba yang dekat dengan Allah, pencabutan ruh berlangsung lembut, seperti air yang mengalir dari mulut kendi. Berat atau ringannya sakaratul maut bukan soal fisik, melainkan soal keterikatan.
Jalaluddin Rumi menulis dengan bahasa yang membuat kematian terasa teduh. Bahwa sesungguhnya kematian bagi pecinta adalah perjumpaan, bukan kehilangan. Yang membuat perpisahan terasa menyakitkan bukan dicabutnya ruh, melainkan eratnya genggaman hati pada dunia yang tak dibawa mati.
Di ruang itu saya mulai sadar, monitor paling jujur bukanlah layar digital, melainkan hati.
Mesin bisa mati, listrik bisa padam, grafik bisa berhenti. Tapi hati—baik milik yang akan pergi, maupun yang ditinggalkan—justru bekerja paling keras menjelang akhir.
Para sufi mengatakan, menjelang ajal hijab dunia menipis. Hati mulai melihat apa yang selama ini tersembunyi. Sebagian tersenyum tanpa sebab. Sebagian gelisah tanpa kata. Itu bukan semata reaksi biologis, tetapi respon ruh terhadap panggilan pulang.
Ibn Atha’illah Al-Iskandari pernah mengingatkan, yang memberatkan perjalanan menuju Allah bukan jauhnya jalan, melainkan beratnya beban di hati. Di titik itu, saya berhenti menatap layar.
Saya memilih menatap wajah sang ayah. Bukan lagi mencari tanda-tanda medis, tetapi menitipkan doa. Saya tahu, tidak ada sistem yang error di sisi Allah. Tidak ada keterlambatan. Tidak ada salah prosedur.

Mendampingi orang tua menjemput ajal adalah pelajaran tentang kepasrahan yang tak diajarkan di bangku mana pun. Ia meluruhkan kesombongan manusia yang gemar mengukur segalanya. Mengajarkan bahwa hidup bukan soal berapa lama bertahan, tetapi dalam keadaan apa kita dipanggil.
Di antara dengung mesin dan doa yang lirih, saya akhirnya mengerti: kematian bukan berhentinya hidup. Ia adalah kembalinya sesuatu kepada Pemiliknya. Dan tidak ada layar di dunia ini yang perlu membaca itu, karena Allah tak pernah kehilangan apa pun yang dititipkan-Nya.
