Mustamin Raga | Menara Gading

  • Whatsapp
Ilustrasi Menara Gading dan kerumunan orang-orang (dok: Gemini AI)

Ilmunya tinggi, namun tak membumi. Pikirannya melangit, tapi kakinya tak pernah menyentuh tanah.

Mustamin Raga, Penulis Buku Mata Melihat, Hati Mengabadikan.

PELAKITA.ID – Ia menjulang tanpa pernah benar-benar menjejak tanah. Tampak anggun dari kejauhan, putih, bersih, dan seolah suci.

Begitulah menara gading, tempat yang awalnya dibangun untuk menjaga kejernihan pikiran, namun perlahan berubah menjadi ruang sunyi yang memutuskan diri dari denyut kehidupan.

Istilah menara gading mula-mula lahir dari dunia sastra dan filsafat Eropa. Ia merujuk pada ruang kontemplasi, tempat para pemikir menjaga jarak dari hiruk-pikuk dunia agar nalar tetap jernih, tak tercemar kepentingan sesaat.

Pada mulanya, ini bukan cela. Ia adalah ikhtiar menjaga integritas berpikir. Namun seperti banyak konsep mulia lainnya, menara gading mengalami pergeseran makna. Dari ruang perenungan, ia berubah menjadi simbol keterpisahan.

Dari jarak yang sehat, menjadi jurang yang angkuh.

Hari ini, menara gading tidak selalu dibangun dengan kesadaran penuh. Ia sering tumbuh diam-diam, tanpa disadari oleh penghuninya. Kita melihatnya pada sebagian orang yang bergelar panjang dan tinggi.

Mereka menulis dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh sesama mereka. Menghasilkan jurnal berjilid-jilid, dipresentasikan di ruang lux berpendingin udara, disoraki angka sitasi, namun nyaris tak pernah turun menjadi solusi bagi warga yang kebanjiran, petani yang gagal panen, atau guru honorer yang gajinya tak cukup membeli beras sebulan.

Ilmunya tinggi, namun tak membumi. Pikirannya melangit, tapi kakinya tak pernah menyentuh tanah.

Bukan karena mereka jahat, sering kali justru karena terlalu bangga pada pencapaian diri sendiri. Gelar menjadi identitas, bukan alat. Kepakaran menjadi mahkota, bukan amanah. Tanpa sadar, mereka berdiri di puncak menara yang mereka bangun sendiri, lalu heran mengapa suara masyarakat terdengar begitu jauh dan samar.

Menara gading juga tumbuh di dunia politik. Para politisi berbicara tentang rakyat dengan grafik, survei, dan istilah teknokratis yang rapi.

Mereka hafal angka kemiskinan, tapi gagap ketika harus duduk lama mendengar keluhan warga. Mereka pandai berpidato tentang penderitaan, namun asing pada rasa lapar yang sesungguhnya. Kantor mereka tinggi, pagar mereka kokoh, jarak mereka dengan rakyat semakin panjang.

Di sinilah menara gading menjadi semakin ironis, mengatasnamakan rakyat, namun hidup jauh dari rakyat. Mengklaim mewakili suara bawah, tapi tak pernah benar-benar turun ke bawah.

Birokrasi pun tak luput.

Di meja-meja rapat, bahasa kebijakan disusun dengan kata-kata yang tertib dan formal. Namun ketika kebijakan itu turun ke lapangan, ia berubah menjadi beban.

Berkas berlapis-lapis, prosedur berbelit, aturan yang terasa dibuat untuk menguji kesabaran orang kecil. Aparat merasa telah bekerja keras, laporan disusun rapi, target tercapai di atas kertas. Tetapi masyarakat tetap terseok di luar gedung, menunggu pelayanan yang manusiawi.

Sekali lagi, ini bukan soal niat buruk semata. Menara gading sering lahir dari rasa puas pada sistem, dari kebanggaan atas posisi, dari keyakinan bahwa “kami tahu yang terbaik.” Padahal, pengetahuan tanpa kepekaan hanyalah menara kosong.

Yang lebih menyedihkan, masyarakat kita sering ikut mengagungkan menara itu. Kita jatuh kagum pada pangkat tinggi, jabatan menterang, dan gelar akademik yang panjangnya mengalahkan nama itu sendiri. Kita berdiri terpukau, meski yang berdiri di atas sana tampak asing dengan persoalan kita. Seolah semakin jauh seseorang dari tanah, semakin pantas ia dihormati.

Padahal, di sisi lain kehidupan, ada orang-orang dengan ilmu dan keterampilan pas-pasan. Gelarnya sederhana, bahkan mungkin tak ada. Tetapi tangannya cekatan membantu, telinganya sabar mendengar, dan kehadirannya nyata dirasakan.

Guru desa yang mengajar dengan keterbatasan, aktivis kampung yang mengurus warga tanpa pamrih, tenaga kesehatan yang datang lebih cepat daripada janji pejabat, guru mengaji yang membimbing anak-anak kita tanpa pamrih, merekalah yang ilmunya benar-benar bekerja.

Mereka tidak menulis teori besar, tapi menyelesaikan masalah kecil yang nyata. Mereka tidak bicara tinggi, tapi hadir sepenuh hati. Mereka tidak membangun menara, melainkan jembatan.

Di sanalah ironi itu terasa paling perih: yang terpandang secara intelektual sering kali hanya berguna bagi dirinya sendiri, sementara yang biasa-biasa saja justru luar biasa manfaatnya bagi banyak orang.

Mungkin masalah kita bukan kekurangan orang pintar, melainkan kelebihan menara. Kita terlalu sibuk meninggikan bangunan simbolik, lupa memastikan pintunya terbuka ke bawah.

Kita mengagungkan jarak, bukan kedekatan. Kita merayakan pencapaian pribadi, tapi lalai menanyakan dampaknya bagi sesama.

Menara gading sejatinya tidak harus diruntuhkan. Ia cukup diberi tangga. Tangga yang menghubungkan langit gagasan dengan bumi kehidupan. Tangga yang memungkinkan ilmu turun menjadi empati, dan kekuasaan berubah menjadi pelayanan.

Sebab ilmu yang sejati bukan yang membuat seseorang merasa lebih tinggi, melainkan yang membuatnya rela merendah agar dapat berguna.

Dan pada akhirnya, ukuran kehebatan bukan seberapa jauh kita dari masyarakat,
melainkan seberapa dekat masyarakat merasa ditolong oleh kehadiran kita.

 

Gerhana Alauddin, 26 Desember 2025