Hari Ini Hari Ibu | Tentang Kasih yang Tak Pernah Usai

  • Whatsapp
Ilustrasi oleh Mustamin Raga

Ibu adalah kata yang pendek, tetapi maknanya panjang. Ia bukan hanya sebutan biologis, melainkan posisi eksistensial dalam kehidupan. Ibu adalah manusia pertama yang mengajarkan kita tentang dunia sebelum dunia benar-benar ramah.

Oleh: Mustamin Raga

Hari ini Hari Ibu.

PELAKITA.ID – Sebuah hari yang sering kita rayakan dengan bunga, kartu ucapan, unggahan media sosial, dan kata-kata manis yang terkadang hanya berumur dua puluh empat jam saja. Namun sesungguhnya, Hari Ibu bukan tentang seremoni.

Ia adalah penanda. Penanda bahwa dalam sejarah kehidupan manusia, ada satu sosok yang perannya terlalu besar untuk sekadar diingat setahun sekali.

Sejarah Hari Ibu di Indonesia lahir dari kesadaran perempuan tentang martabat, perjuangan, dan kemanusiaan. Tanggal 22 Desember merujuk pada Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 di Yogyakarta.

Kongres itu bukan semata pertemuan kaum ibu rumah tangga, melainkan ruang perlawanan senyap terhadap ketidakadilan, keterbelakangan, dan penjajahan, baik penjajahan bangsa asing maupun penjajahan cara berpikir. Maka Hari Ibu sejak awal bukan hanya tentang melahirkan anak, tetapi juga melahirkan kesadaran, keberanian, dan harapan.

Ibu adalah kata yang pendek, tetapi maknanya panjang. Ia bukan hanya sebutan biologis, melainkan posisi eksistensial dalam kehidupan. Ibu adalah manusia pertama yang mengajarkan kita tentang dunia sebelum dunia benar-benar ramah.

Dari rahimnya kita mulai belajar, dari pelukannya kita belajar kehangatan. Ia memperkenalkan kita pada lapar dan kenyang, pada sakit dan sembuh, pada tangis dan tawa, jauh sebelum kita mampu memahami bahasa.

Keistimewaan ibu terletak pada kesediaannya menunda dirinya sendiri. Ia menunda tidur demi anaknya terlelap, menunda makan demi anaknya kenyang, menunda mimpi demi anaknya berani bermimpi.

Pengorbanannya sering tidak tercatat, tidak diberi piagam, bahkan tidak diucapkan terima kasih. Namun justru di sanalah keagungannya berdiri: pada kerja-kerja sunyi yang tidak menuntut pengakuan.

Secara filosofis, ibu adalah metafora tentang asal dan kepulangan. Kita berangkat dari ibu, dan pada saat-saat paling rapuh dalam hidup, kita selalu ingin kembali pada rasa yang pernah ia berikan: rasa aman.

Dunia boleh berubah menjadi kejam, ideologi boleh saling bertabrakan, kekuasaan boleh saling menggulingkan, tetapi dalam ingatan terdalam manusia, ibu tetap menjadi definisi paling sederhana tentang cinta.

Kasih ibu adalah kasih yang tidak mengenal syarat. Ia tidak bertanya siapa kita kelak, seberapa berhasil kita nanti, atau seberapa besar jasa yang akan kita balas. Ia mengasihi bahkan sebelum kita pantas dikasihi.

Bahkan ketika kita menjadi anak yang keras kepala, anak yang mengecewakan, atau anak yang tersesat, kasih itu tidak berkurang. Ia hanya berubah bentuk: menjadi doa, menjadi air mata, menjadi kesabaran yang panjang.

Dan kasih itu tidak hanya milik manusia. Di alam, kita melihat bagaimana induk melindungi anaknya dengan tubuhnya sendiri, melawan bahaya yang jauh lebih besar. Seolah semesta sepakat bahwa kasih seorang ibu adalah hukum paling purba yang tak perlu disepakati, tetapi terus dijalankan.

Hari ini Hari Ibu.

Bukan hanya untuk ibu yang masih kita peluk, tetapi juga untuk ibu yang telah menjadi kenangan.

Untuk ibu yang hadir secara fisik, maupun yang hadir lewat nilai dan teladan.

Untuk ibu yang melahirkan, ibu yang membesarkan, ibu yang memilih mengasuh meski tidak melahirkan.

Karena pada akhirnya, ibu adalah tentang kasih yang abadi: di manapun, kapanpun, dalam kondisi apapun, bahkan pada makhluk apapun.

Kasih yang tidak pernah benar-benar pergi—ia hanya berpindah dari pelukan ke ingatan, dari suara ke doa, dari tubuh ke makna.

Hari ini Hari Ibu.

Dan sesungguhnya, setiap hari adalah hari untuk belajar kembali menjadi manusia, dari seorang ibu.

___
Beringin No. 3, 22 Desember 2025