Kesalahan paling fatal manusia adalah memandang hutan sebagai kumpulan pohon—seolah menanam seribu bibit dapat menggantikan seribu hektare hutan yang ditebang.
PELAKITA.ID – Hutan itu apa? Pertanyaan ini terdengar sederhana, nyaris seperti soal anak sekolah dasar. Namun justru di situlah letak pengkhianatan kita terhadap makna. Ketika sesuatu dianggap terlalu sederhana, kita berhenti memikirkannya dengan sungguh-sungguh.
Hutan lalu direduksi menjadi sekadar hamparan pohon—batang-batang tegak yang bisa dihitung, ditebang, diukur volumenya, lalu diberi harga.
Padahal hutan bukan hanya apa yang terlihat oleh mata, melainkan apa yang menopang hidup manusia yang bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di dalamnya.
Hutan adalah napas yang tak kita sadari sedang kita hirup.
Ia adalah air yang mengalir di kran rumah-rumah kota.
Ia adalah kesejukan yang tersisa di tengah panas beton.
Ia adalah penyangga diam yang bekerja tanpa sorotan kamera.
Ironisnya, manusia yang paling bergantung pada hutan justru adalah mereka yang hidup jauh darinya.
Hutan dan Manusia Kota
Manusia modern—yang tinggal di kota, bekerja di balik meja, berbicara tentang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan—sering merasa tidak memiliki urusan dengan hutan.
Hidup mereka ditopang listrik, air kemasan, pendingin ruangan, dan aplikasi digital. Seolah-olah kehidupan telah sepenuhnya terlepas dari tanah, pohon, dan akar.
Padahal hutan adalah fondasi tak terlihat dari seluruh kenyamanan itu. Air bersih yang mengalir tenang di pipa-pipa kota berasal dari daerah tangkapan air yang dijaga hutan.
Udara yang masih menyisakan oksigen dihasilkan daun-daun yang sabar berfotosintesis tanpa pernah meminta imbalan. Bahkan kestabilan iklim—yang menentukan apakah kota akan kebanjiran atau kekeringan—ditentukan oleh apakah hutan masih berdiri atau telah tumbang.
Manusia kota hidup dari hasil kerja hutan, tetapi tidak mengenal wajahnya.
Menikmati manfaatnya, tetapi abai terhadap nasibnya.
Inilah relasi paling timpang: bergantung tanpa rasa terima kasih.
Ketika Hutan Berkurang, Bencana yang Datang
Bahaya terbesar dari berkurangnya hutan bukan karena ia hilang secara tiba-tiba, melainkan karena dampaknya datang perlahan—pelan, nyaris tak terasa, hingga akhirnya tak terhindarkan.
Ketika hutan dibuka, tanah kehilangan penjaga. Akar-akar yang dulu memeluk bumi tercabut. Air hujan yang seharusnya diserap kini meluncur liar, membawa lumpur, menghancurkan sawah, merobohkan rumah.
Banjir dan longsor pun disebut “bencana alam”, seolah alam sendiri yang bersalah. Padahal itu bencana moral manusia.
Ketika hutan menipis, satwa kehilangan rumah. Mereka turun ke kebun dan permukiman, lalu disebut hama. Mereka diburu, diracun, ditembak—bukan karena jahat, tetapi karena lebih dulu diusir.
Ketika hutan lenyap, iklim kehilangan penyeimbang. Musim menjadi kacau, panas ekstrem, hujan turun tanpa aturan. Manusia sibuk memperdebatkan cuaca, tanpa berani menunjuk sebab paling jujur: kerakusan kita sendiri.
Hutan yang hilang tidak pernah benar-benar pergi. Ia kembali dalam bentuk banjir, kekeringan, penyakit, dan krisis pangan.
Hutan Bukan Sekadar Pohon, Ia Adalah Sistem Kehidupan
Kesalahan paling fatal manusia adalah memandang hutan sebagai kumpulan pohon—seolah menanam seribu bibit dapat menggantikan seribu hektare hutan yang ditebang.
Hutan bukan matematika sederhana. Ia adalah sistem kehidupan yang rumit dan saling terkait. Di dalamnya ada pohon tua yang menyimpan sejarah ratusan tahun.
Ada jamur yang bekerja di bawah tanah, mengurai kehidupan menjadi nutrisi. Ada serangga kecil yang tak pernah disebut namanya, tetapi menentukan penyerbukan. Ada burung, mamalia, reptil, mikroorganisme—semuanya saling bergantung dalam keseimbangan yang rapuh.
Satu spesies hilang, yang lain terguncang.
Satu mata rantai putus, seluruh sistem melemah.
Hutan adalah sebuah komunitas.
Ia adalah peradaban sunyi yang bekerja tanpa pidato dan spanduk.
Hutan dan Nafsu: Ketika Ia Dipandang Sebagai Objek
Ada perbandingan pahit namun jujur: mengapa sebagian manusia memandang hutan seperti memandang perempuan seksi? Jawabannya terletak pada objektifikasi. Hutan tidak diperlakukan sebagai subjek yang hidup, melainkan objek yang bisa dieksploitasi.
Ia dilihat dari apa yang bisa diambil, bukan dari apa yang harus dijaga. Kayunya, lahannya, mineral di bawahnya—semua dihitung dengan logika hasrat dan keuntungan. Seperti tubuh yang direduksi menjadi lekuk dan daya tarik, hutan direduksi menjadi angka dan potensi ekonomi.
Tidak ada relasi, hanya konsumsi.
Tidak ada etika, hanya nafsu.
Dan ketika hutan rusak, seperti korban kekerasan, ia sering disalahkan. Disebut tidak produktif, tidak memberi nilai tambah, tidak mendukung pembangunan. Padahal yang rusak bukan hutannya, melainkan cara pandang manusia.
Bagaimana Seharusnya Kita Memperlakukan Hutan?
Pertanyaan ini sesungguhnya adalah pertanyaan tentang siapa kita sebagai manusia.
Memperlakukan hutan dengan benar berarti mengakui bahwa manusia bukan penguasa tunggal bumi. Bahwa kita adalah bagian dari ekosistem, bukan pemiliknya. Bahwa pembangunan tanpa etika ekologis adalah bunuh diri yang ditunda.
Hutan harus diperlakukan sebagai mitra kehidupan, bukan objek eksploitasi.
Sebagai warisan, bukan komoditas sesaat.
Sebagai titipan anak cucu, bukan ladang keuntungan jangka pendek.
Menjaga hutan bukan berarti menolak kemajuan, melainkan mendefinisikan ulang makna kemajuan itu sendiri. Kemajuan sejati adalah ketika manusia tumbuh tanpa menghancurkan rumah kehidupan.
Kita tidak harus tinggal di hutan untuk mencintainya. Kita hanya perlu jujur mengakui bahwa tanpa hutan, tidak ada kota, tidak ada peradaban, tidak ada masa depan.
Hutan sebagai Cermin Nurani
Hutan adalah cermin.
Ia memantulkan siapa kita sebenarnya.
Jika hutan rusak, itu bukan karena alam lemah, tetapi karena nurani manusia tumpul. Jika hutan habis, itu bukan karena takdir, melainkan karena pilihan.
Dan suatu hari, ketika anak cucu bertanya, “Hutan itu apa?” semoga kita tidak hanya mampu menjawab dengan definisi, tetapi dengan sikap. Atau setidaknya dengan rasa malu—atau lebih baik lagi, dengan kisah tentang bagaimana kita memilih berhenti merusak dan mulai menjaga.
Sebab hutan bukan hanya tentang pohon.
Ia adalah tentang hidup.
Tentang keseimbangan.
Tentang keberanian manusia untuk tidak selalu menang atas alam,
melainkan hidup bersamanya.
__
Penulis Mustamin Raga, tinggal di Gowa
