Guru, Antara Penghargaan dan Pengabaian

  • Whatsapp
Ilustrasi perbandingan dua negara (dok: Istimewa)

Perbandingan Indonesia–Denmark dan Urgensi Meredefinisi Martabat Pengajar

Oleh: Mustamin Raga

PELAKITA.ID – Di negeri ini, guru sering dipuji di podium, dielu-elukan di baliho, dan dimuliakan dalam pidato seremonial. Namun di balik tepuk tangan yang meriah itu, kita menyaksikan kenyataan pahit yang tak mampu ditutupi oleh kata-kata manis.

Guru—yang dalam narasi sejarah disebut sebagai pahlawan—sering kali hanya menjadi pahlawan dalam wacana, bukan dalam kebijakan. Mereka disebut “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, namun nyaris seluruh beban ketidakadilan justru diletakkan pada kalimat itu.

Semboyan itu, yang dulu lahir dari penghormatan tulus, kini perlahan menjadi jubah problematik. Ia berubah menjadi alasan sunyi untuk membiarkan ketidakadilan ekonomi menimpa guru.

Saat gaji guru honorer tidak mencukupi biaya hidup, otoritas jarang merasa terganggu; seolah-olah ketimpangan itu adalah hal wajar—karena guru, katanya, tidak perlu tanda jasa. Saat tunjangan telat dibayar, saat status tak kunjung jelas, saat mereka harus bekerja rangkap hanya demi bertahan hidup, tak ada yang merasa bersalah.

Karena sejak awal, mereka ditempatkan dalam glorifikasi kosong: “pahlawan yang tidak butuh penghargaan”.

Karena itu, sudah saatnya semboyan itu dikaji ulang, bahkan diredefinisi secara menyeluruh. Pahlawan, betapapun mulianya, tetaplah manusia. Mereka bukan mesin pengorbanan.

Mereka bukan lilin yang harus rela habis demi menerangi orang lain tanpa pernah mendapatkan minyak tambahan.

Bila frasa “tanpa tanda jasa” terus dibiarkan mengudara tanpa pemahaman baru, ia akan terus menjadi tameng bagi negara untuk menghindari kewajiban moralnya. Ia akan menjadi dalih halus untuk tidak menghadirkan keadilan ekonomi. Pujian tanpa kesejahteraan hanyalah ironi yang dipoles dengan estetika bahasa.

Mari kita membuka jendela jauh ke utara—ke Denmark. Sebuah negeri kecil dengan kesadaran besar tentang pentingnya pendidikan. Di sana, guru ditempatkan di titik yang layak bagi sebuah bangsa yang menghormati masa depannya.

Guru bukan hanya bagian dari sistem; mereka adalah pusat dari keberlangsungan sistem itu sendiri. Penghargaan kepada guru bukanlah slogan, bukan pula retorika; ia terwujud dalam angka, dalam kebijakan, dalam struktur, dalam kultur.

Gaji guru di Denmark diposisikan sebagai gaji profesi terhormat. Bukan yang tertinggi, tetapi cukup dan sangat bermartabat. Cukup untuk hidup dengan tenang, bermartabat untuk bekerja tanpa rasa rendah diri.

Ini bukan semata soal angka rupiah, tetapi tentang pengakuan negara bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh mereka yang menghabiskan hidupnya di ruang kelas.

Di Indonesia, guru honorer masih ada yang menerima gaji di bawah standar kemanusiaan. Ada yang menerima Rp300.000 per bulan.

Diterima setiap tiga bulan kalau lagi beruntung. Ada yang menunggu tambahan penghasilan dari kelompok belajar, bimbingan privat, atau pekerjaan sampingan seperti ojek online dan penjual pulsa. Mereka bekerja dengan dedikasi, tetapi kesejahteraan mereka diserahkan pada permainan nasib.

Sementara itu, di Denmark, mereka yang memimpin dunia pendidikan di level kabupaten, yang setara dengan kepala dinas adalah figur yang lahir dari dunia pendidikan itu sendiri.

Kepala dinas pendidikan di Denmark adalah sosok yang mengerti denyut nadi guru, memahami tarikan napas ruang kelas, dan mampu merasakan kegelisahan para pengajar setiap kali kebijakan baru muncul.

Mereka adalah mantan guru, mantan kepala sekolah, atau akademisi pendidikan. Mereka pernah berdiri di depan kelas, merasakan degup jantung menghadapi murid yang sulit fokus, pernah memikirkan kurikulum mingguan, dan pernah pulang dengan rasa letih fisik namun puas batin.

Berbeda dengan banyak kabupaten di Indonesia, di mana kursi Kepala Dinas Pendidikan lebih sering diberikan kepada mereka yang mahir mengelola anggaran ketimbang memahami dunia pendidikan.

Tidak sedikit kepala dinas yang bahkan tidak memiliki latar belakang pendidikan sedikitpun, tidak pernah mengajar, tidak pernah memimpin sekolah, dan tidak pernah bergulat dengan rumitnya psikologi murid.

Mereka mungkin pandai mengurus laporan keuangan, pandai menulis proposal anggaran, atau lihai bernegosiasi dalam forum pemerintahan. Namun kemampuan teknokratis tanpa empati pendidikan sering kali melahirkan kebijakan yang kering, dingin, dan jauh dari realitas kelas.

Ketika jabatan pendidikan diisi oleh mereka yang tak memahami inti profesi, arah kebijakan pun kehilangan ruhnya. Administrasi menjadi raja; aplikasi menjadi tiran; laporan menjadi lebih penting daripada murid.

Guru akhirnya terjebak dalam ritual administratif yang menghabiskan tenaga dan waktu, sementara ruang kelas yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru menjadi latar belakang yang terlupakan.

Dalam sistem seperti Denmark, penghargaan kepada guru terikat erat dengan ekosistem yang sehat. Program pelatihan diberikan bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai kebutuhan kemajuan. Guru dilibatkan dalam pembuatan kurikulum. Suara mereka dihargai, bukan hanya didengar.

Mereka tidak diperlakukan sebagai pelaksana kebijakan, tetapi sebagai mitra negara.

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi besar. Guru-gurunya setia, tekun, dan penuh dedikasi—bahkan dalam kondisi paling sulit. Tidak sedikit guru yang mengajar dengan sepenuh hati meski gaji hanya cukup untuk ongkos bensin.

Tidak sedikit guru di pelosok yang menempuh perjalanan puluhan kilometer hanya untuk memastikan anak-anak mendapatkan ilmu. Tidak sedikit guru yang menjadi orang tua kedua bagi murid-muridnya, mengisi ruang kosong yang ditinggalkan keluarga atau lingkungan.

Namun potensi itu sering kali disia-siakan oleh struktur yang menempatkan guru sebagai karyawan rendahan, bukan sebagai inti pembangunan bangsa.

Dan semboyan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” semakin memperkuat ketimpangan itu. Sebab kata tanpa di sana tak hanya berarti “tak perlu medali”, tetapi diterjemahkan sebagai “tak perlu gaji layak”, “tak perlu perlindungan”, “tak perlu status jelas”, “tak perlu posisi bermartabat”.

Padahal justru sebaliknya: karena guru adalah pahlawan, maka mereka layak menerima tanda jasa. Karena guru adalah tulang punggung bangsa, maka mereka harus ditempatkan di posisi yang diberikan perlakuan terbaik. Guru bukan objek pengorbanan, melainkan subjek peradaban. Mereka tidak sedang menunggu belas kasihan; mereka sedang menuntut keadilan dari negara yang mereka bangun dari akar.

Di titik inilah perbandingan dengan Denmark menjadi penting, bukan untuk menundukkan kepala kita, tetapi untuk membuka mata. Negeri maju itu tidak serta-merta berhasil karena mereka kaya; mereka menjadi kaya karena mereka menghormati pendidikannya.

Karena mereka menghargai gurunya. Karena mereka memuliakan profesi yang bekerja dalam diam, tetapi membangun masa depan dalam diam yang penuh makna.

Indonesia bisa belajar, bukan meniru buta. Kita bisa mengambil semangat yang sama: menempatkan guru sebagai inti, bukan pelengkap.

Mengubah orientasi dari anggaran ke kualitas, dari seremoni ke substansi, dari slogan ke kesejahteraan. Salah satu langkah awalnya adalah meninjau ulang narasi lama yang membelenggu kita, bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Sudah saatnya semboyan itu dibongkar, dibersihkan, dan ditata ulang. Guru adalah pahlawan yang sangat layak mendapatkan tanda jasa. Layak mendapatkan keadilan ekonomi. Layak mendapatkan perlindungan hukum. Layak mendapatkan pemimpin pendidikan yang berasal dari dunia pendidikan itu sendiri. Layak mendapatkan penghormatan yang konkret, bukan abstrak.

Bangsa ini tidak akan tumbuh melebihi kualitas gurunya. Dan guru tidak akan tumbuh melebihi kualitas penghargaan yang diberikan negara kepadanya.

Sebab yang membangun masa depan bukanlah gedung-gedung tinggi, bukan pula anggaran yang besar, tetapi hati guru yang tenang dan sejahtera—yang mengajar dengan bahagia, dan menanamkan harapan kepada anak-anak negeri.

(MR)