Dinding Rindu: Trilogi Perjalanan Ruhani

  • Whatsapp
Ilustrasi Penulis

PELAKITA.ID – Kolomnis Pelakita.ID Muliadi Saleh yang aktif mktif menulis esai, puisi, dan kolom reflektif di berbagai media lokal dan nasional. membagikan karya-karyanya kali ini, Pria yang kerap menggabungkan spiritualitas Islam, budaya Nusantara, dan kesadaran ekologi.. Ia percaya bahwa kata-kata bukan sekadar bunyi, melainkan jembatan antara bumi dan langit — antara manusia dan Tuhannya.

Pengantar

Ada rindu yang membakar, ada rindu yang menyejukkan.
Rindu kepada manusia membawa kenangan, rindu kepada alam membawa keseimbangan,
tapi rindu kepada Tuhan membawa kesadaran —
bahwa segala jarak sejatinya hanyalah jalan pulang.

Puisi ini menapak tiga tahap ruhani:
Rindu yang Menghadirkan (Dinding Rindu),
Rindu yang Melebur (Di Ambang Cahaya),
dan Rindu yang Menenangkan (Sakinah di Pangkuan Cahaya).
Tiga perjalanan dalam satu napas:
Bismillahirrahmanirrahim.

I. Dinding Rindu

Bismillahirrahmanirrahim —
dari sanalah segala rindu bermula.
Dinding-dinding hati retak oleh waktu,
Dari retaknya memancarkan nur seperti benih doa di tanah rahasia.

Segala kenangan menetes
dan menjadi embun yang tak sempat kau sapu di antara :
langit–langit yang menunduk dan
lantai yang menatap diam ke bawah.
Pepohonan berzikir dengan daun-daunnya,
angin berdoa dalam hembus yang lembut,
udara yang kucium membawa aroma kalimat
yang pernah Kau tanam di tulang-tulangku:
“Kembalilah, wahai jiwa yang tenang…”

Bumi berputar di bawah telapak kasih,
langit bergetar di bawah cahaya rahmat,
dan aku, di antara keduanya, hanyalah setitik napas
yang mencari jalan pulang ke samudra asal.

Maka biarlah rindu ini tak padam,
sebab di dalam rindu ada api yang menyucikan.
Biarlah sunyi ini tak berakhir,
sebab di dalam sunyi aku mendengar langkah-Mu.

Bismillahirrahmanirrahim —
aku sebut lagi nama itu,
dan semesta pun menjawab dengan cahaya.

II. Di Ambang Cahaya

Aku meniti jalan rindu itu,
melewati lembah waktu yang sunyi,
melepas nama, rupa, dan segala yang kuanggap aku.
Satu per satu gugur seperti daun di hadapan angin rahasia.

Bismillahirrahmanirrahim —
aku berjalan ke segala arah,
namun setiap langkah adalah pulang.

Langit menyala dalam dada,
bumi menunduk di bawah jiwa,
dan di antara keduanya
ada cinta yang tak bernama,
tapi setiap hembusnya berkata:
“Aku adalah engkau, dan engkau adalah Aku.”

Kupandang dinding rindu itu —
kini bukan lagi penghalang,
melainkan cermin dari cahaya yang tak terbelah.
Segala sesuatu adalah ayat,
segala napas adalah zikir,
segala sunyi adalah salam.

Di puncak fana’ aku lenyap,
di lembah baqa’ aku lahir kembali,
bukan sebagai diri,
melainkan sebagai serpih cahaya
dari samudra-Mu yang tiada tepi.

Dan aku mengerti —
rindu bukan jarak,
melainkan jalan.
Bukan kehilangan,
melainkan kepulangan.

Bismillahirrahmanirrahim —
segala yang ada kembali kepada Yang Ada.

III. Sakinah di Pangkuan Cahaya

Kini tak ada lagi dinding,
tak ada langit atau lantai,
semua batas telah runtuh
oleh hembus napas kasih-Mu.

Aku menjadi udara
yang berputar dalam nama-Mu,
menjadi embun yang tenang
di kening pagi ciptaan-Mu.

Bismillahirrahmanirrahim —
nama itu kini bersemayam
bukan di bibirku,
melainkan di seluruh denyut nadiku.

Aku tak lagi mencari,
sebab telah ditemukan.
Aku tak lagi memanggil,
sebab telah disapa dari dalam cahaya.

Bumi, langit, pepohonan, angin —
semuanya bertasbih dalam diam,
dan di dalam diam itu
aku mendengar harmoni semesta:
suara cinta yang tak bersuara,
suara Tuhan di dalam segala.

Kini aku tahu,
rindu sejati adalah pulang,
pulang tanpa jarak,
pulang tanpa pergi.

Dan di sana,
di balik cahaya yang tak menyilaukan,
aku bersujud dalam damai abadi —
menyebut-Mu sekali lagi,
dengan seluruh wujudku yang telah Kau luluhkan:

Bismillahirrahmanirrahim.

Catatan Kuratorial
Trilogi “Dinding Rindu” adalah ziarah puisi menuju Yang Maha Ada.
Muliadi Saleh menulis dengan kesadaran sufistik yang lembut —
rindu bukan sekadar emosi, tetapi tali cahaya yang menghubungkan makhluk dengan Khalik.
Diksi “langit, lantai, udara, pepohonan, dan angin” menjadi simbol keberadaan:
dunia fisik yang bergetar oleh dzikir semesta.
Rangkaian “Bismillahirrahmanirrahim” berulang sebagai mantra pembuka setiap fase:
membangunkan, melebur, dan menenangkan — tiga gerak ruhani dalam satu tarikan napas cinta.

Tentang Penulis

Muliadi Saleh
Aktif menulis esai, puisi, dan kolom reflektif di berbagai media lokal dan nasional.
Karya-karyanya kerap menggabungkan spiritualitas Islam, budaya Nusantara, dan kesadaran ekologi.
Ia percaya bahwa kata-kata bukan sekadar bunyi,
melainkan jembatan antara bumi dan langit — antara manusia dan Tuhannya.