“Kita menanam bukan untuk pasti panen, tetapi agar tidak berhenti berharap.”
— Muliadi Saleh
PELAKITA.ID – Masih terasa dingin. Mentari belum lama lagi muncul, sementara embun menetes lembut di ujung daun. Di bawahnya, tanah diam-diam berdoa. Ia tak bersuara, tetapi segala yang tumbuh darinya adalah sabda.
Bertani bukan sekadar mencangkul dan menanam, melainkan menyentuh kembali asal-usul manusia. Dari tanah kita datang, dan ke tanah pula kita akan kembali. Karena itu, bertani adalah bentuk paling jujur dari perenungan sekaligus pengabdian.
Bertani adalah zikir yang diam, doa yang disematkan ke dalam benih, dibaringkan di gelap tanah, menanti terang dari langit dan hujan dari Tuhan. Setiap petani yang menanam sejatinya sedang menulis puisi—puisi panjang tentang harapan, kesabaran, dan ketulusan.
Tanah: Buku Kehidupan yang Tak Pernah Kosong
Di antara bau lumpur dan peluh, terselip harum kepasrahan. Tanah mengajarkan kita menerima siapa pun yang datang padanya. Meski diinjak, ia tetap memberi kehidupan.
Dari sanalah, biji kecil perlahan membuka diri. Akar-akar mungil meraba dunia dalam gelap, seperti bayi yang belajar berjalan. Tak tahu arah, tetapi percaya tanah akan memeluknya.
Batang pun tumbuh pelan, menembus cahaya, menyapa angin, dan mengecup sinar pagi. Daun-daun kecil muncul bak lambaian dari langit.
Tak ada yang tahu pasti bagaimana rupa daun sempurna nanti. Tak ada yang tahu warna buah yang akan lahir. Tetapi di situlah indahnya proses: ia tak memberi bocoran, hanya kejutan demi kejutan yang pantas dinikmati.
Akar yang Menyapa Dunia, Daun yang Menggoda Embun
Bertani mengajarkan segalanya dimulai dari akar—tak terlihat, tapi menentukan. Jika akar baik, batang akan kuat. Jika batang kuat, daun menjadi rindang. Jika daun rindang, bunga akan mekar. Dan jika bunga setia pada waktunya, buah hadir sebagai hadiah.
Di tengah dunia modern yang serba instan, bertani menjadi jalan paling spiritual untuk memahami arti sabar dan kerja keras. Benih tidak bisa dipaksa tumbuh, ia tak tunduk pada tenggat. Ia hanya tumbuh ketika waktunya tiba—dan waktu itu hanya diketahui Tuhan.
“Tanamlah kebaikan meski tak seorang pun melihatnya. Sebab Tuhan menumbuhkan segalanya pada waktunya.”
— Jalaluddin Rumi
Bertani: Tafsir Nyata Ayat-Ayat-Nya
Al-Qur’an berulang kali menyebut tanah, biji, dan tumbuhan sebagai bukti kebesaran-Nya. Dalam Surah Abasa (80:24–32), Allah berfirman:
“Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air yang melimpah, kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, dan anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan kurma, dan kebun-kebun yang lebat, serta buah-buahan dan rerumputan, sebagai kesenangan untuk kamu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”
Ayat ini bukan sekadar pengingat nikmat, tetapi undangan untuk merenung—bahwa makanan yang kita santap bukan berasal dari pabrik, melainkan dari bumi. Dan bumi hanya memberi pada mereka yang mau bekerja.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim menanam suatu tanaman, lalu tanaman itu dimakan manusia, burung, atau binatang, melainkan itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bertani adalah sedekah yang terus mengalir. Bahkan jika hasilnya tak sempat kita nikmati, amalnya tetap menjadi ibadah.
Bertani: Puisi Hidup dari Hati yang Berserah
Bertani menyadarkan kita bahwa manusia hanya bisa merencanakan waktu tanam, tetapi tak dapat memastikan kapan hujan turun. Kita bisa memilih bibit terbaik, tetapi tak bisa menjamin hasilnya. Proses ini adalah ujian iman.
Dan di tengah segala ketidakpastian, petani tetap tersenyum. Ia tak bergantung pada hasil, melainkan pada usaha. Dalam setiap tetes keringatnya, ada puisi yang hanya bisa dibaca langit.
“Kita menanam bukan untuk pasti panen, tetapi agar tidak berhenti berharap.”
— Muliadi Saleh
Bertani adalah cara paling nyata untuk merasakan kehadiran Tuhan. Sebab ketika kita menanam, kita menyerahkan seluruh takdir kepada-Nya.
Kembali ke Tanah, Kembali ke Asal
Dengan niat tulus, kesungguhan, dan pemanfaatan ilmu maupun teknologi, bertani menjadi jalan pulang. Di sanalah kita akrab dengan tanah, dengan doa dalam keheningan ladang, dengan zikir di gemerisik daun, dan dengan wewangian tanah basah yang terasa surgawi.
Mari bertani bukan hanya sebagai pekerjaan, tetapi sebagai jalan spiritual—menyentuh bumi, menyentuh rahmat-Nya; menanam benih, menanam cinta; merasakan tanah, dan mengenali diri kita yang sejati.
Sebab bertani bukan sekadar soal pangan. Ia adalah soal iman—tentang siapa kita, dan kepada siapa kita berharap.
“Jangan malu mencangkul tanah, sebab Nabi Adam pun pernah mencangkul surga.”
— Muliadi Saleh
(Esai ini dipersembahkan untuk para petani Indonesia—penyambung nyawa bangsa. Semoga menjadi pengingat bahwa bertani adalah jalan iman, ilmu, dan cinta.)
