PELAKITA.ID – Kota Palopo lekat di hati. Selama dua tahun antara 2004 hingga 2005, hari-hari saya adalah tentang kakao, petani di antara Suli dan Sukamaju,
Juga tentang kapurung, bakso Opsal, dan penerimaan warga Luwu Raya yang selalu bersahabat.
Di Pattredong, Ponrang, saya berkawan Nasir, semoga dia sehat selalu.
Di Paccerakang, ada sahabat Dasa Tandibua, di Sukamaju ada Sugeng, Yusuf di Buntubarana Suli hingga Om Husain di Tolada Malangke. Banyak cerita menginspirasi dari masa itu. Termasuk momen saat dapat call dari Mas Kun Praseno yang mengajak kerja di luar Sulawesi.
Selama sepekan ini Palopo kembali memanggil. Kebiasaan naik bus Sorowako – Makassar saya tepis dan mulai naik ‘Panther’.
Meski terasa melelahkan namun, saya menemukan banyak kawan baru. Berbincang dengan Puang Rodo’ asal Lancirang Sidrap yang bercerita tentang pupuk dan semesta soalan benih.
Pekan lalu, setiba di Kota Palopo dan membayar 150 ribu untuk sewa minibus, saya WA alena beliau Basri Andang. “Posisi ustaz?” Jadilah kami bersua di Solata Cafe. Tidak jauh dari mulut Jalan Poros Sudirman Palopo.
Dia menyesap makna kopi dengan Dr Abdul Rahman Nur, wakil rektor Andi Djemma yang rendah hati. Juga tentang cerita social forestry, isu lingkar tambang dan perlindungan untuk sempadan sungai dan ruas-ruas sosial ekonomi antara Seko, Rampi.
Pertemuan dengan keduanya mempertemukan saya juga dengan mahasiswa S2 FH Unanda yang paham persis tentang jurnalisme, tentang kebebasan jurnalis.
Dia berbagi pandangannya tentang media online, syareat-syarat pendirian, NIB dan segala macam komunitas atau jejaring profesi dan perusahannya. Saya menyebut beliau sebagai ‘pembeda’. Sayang sekali, lupa tanyakan namanya. Medianya, Klik Nusantara.
Nampak OK.
Pagi ini, saya kembali tiba di Palopo setelah perjalanan yang sunyi antara pukul 2 dinihari dan tiba pukul 6 pagi.
Diantar oleh Reza, anak muda Bantaeng yang kerja di salah konsultan nasional di daerah tambang. Dengan Reza saya berteman juga dua nama asal Filipina. Bahkan sempat pelesiran bersama ke sejumlah desa pesisir Towuti.
Setelah menikmati bubur saya, saya bergeser ke Pajalesang, bertemu Mama Ampong, Wawan dan Adi. Keluarga Kakatua II.
Nah, pagi ini, rotikaya Warkop Pojok Palopo terngiang. Ada baiknya sebelum kembali ke Makassar untuk mampir di sini.
Kenapa Warkop Pojok karena ini bersih, nyaman, accessible, sering dikunjungi tokoh atau politisi handal Palopo.
Saya ke sini dua kali bareng CEO Teknocorp Darwis Ismail awal tahun ini. “Terkenang kopi tipis, susu Beruang dan roti bakar kayanya.”
Begitulah, dan namanya juga rezeki anak Pelakita, ternyata di warkop ini ada sahabat saya lainnya yang juga tak kalah keren, dia berpengalaman 27 tahun di Bank Danamon, dia ketua IKA Unhas Gowa, alumni Sospol 91.
Siapa lagi kalau bukan alena beliau, tugammaraka nammassori, Irwansyah Sukarana. Dia di Palopo lantaran menyiapkan kantor baru Danamon – yang pindah ke seberang Warkop Pojok.
Mungkin ada yang penasaran, apa saja tugasnya di Bank Danamon? Porei!
Saya suka kutipan obrolan dengannya siang ini. “Waktu di Unhas, setelah wisuda Desember 96, saya dapat di kampus jadi karywan Bank Danamon.
Tes di situ, diterima di situ. Ada kerjasama antara Unhas dan Danamon kala itu,” Kenang pria yang rupanya adalah juga ketua KBBP (Keluarga Polri) Kabupaten Gowa ini. Menarik juga ya, kisahnya.
Irwanysah Sukarana mengabdi selama 27 tahun di Bank Danamon, dia meniti kehidupan perbankan dalam situasi suka dan duka, dia pernah merasakan bagaimana Temasek Singapura dan kemudian Grup Mitsubishi mengampu dan membesarkan bank berlogo oranye kekuningan ini.
Dia layak disebut ‘diehard’ Danamon, tak pindah ke lain hati, tawwa!
Eh satu lagi, dia bilang, “Denun, ada yuniorta di Smansa, ada anak 91 yang jadi bos di Danamon Makassar,” ungkapnya.
“Beugh, tungguma!”
Warkop Pojok, Palopo | 27/7/2024
Denun