Bahaya laten kerja paksa di kapal ikan, negara bisa apa?

  • Whatsapp
Awak Kapal Ikan di PPI Eretan (dok: K. Azis)

DPRD Makassar

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya perlindungan awak kapal perikanan dan nelayan dengan menerbitkan  11 Undang Undang, 6 PP, 3 Perpres dan 10 Permen.  – Moh. Abdi Suhufan

PELAKITA.ID – Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut saat ini jumlah awak kapal perikanan dan nelayan mencapai 2,2 juta jiwa. Sementara itu, Badan Pusat Statistik pada Februari 2022 melansir data terbaru jumlah angkatan kerja Indonesia saat ini adalah 144,01 juta jiwa.

Terkait itu, tidak ada penjelasan apakah 144,01 juta tersebut termasuk awak kapal perikanan dan nelayan atau tidak. Ini laten dan perlu pemilahan yang jelas.

Read More

“Perlu data rinci,  siapa, bidang apa saja yang pekerja geluti itu. Tanpa itu,  perencanaan  atau upaya perbaikan pasti sulit.  Jika membaca informasi belakangan ini kita selalu mendengar atau menemukan kasus awak kapal perikanan yang menjadi korban, dalam dan di luar negeri. Ini sesungguhnya bahaya laten,” kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW Indonesia)  Moh. Abdi Suhufan.

Menurut Abdi, dalam kenyataannya, pekerjaan awak kapal perikanan dan nelayan selama ini bercirikan atau memiliki karakteristik sebagai pekerja informal.

“Yaitu mereka yang menerima apa adanya bagi hasil sistim pengupahan. Mereka sebagai bagian sistim rekruitmen yang tidak transparan, dan minimnya pengawasan pekerja. Ini yang sering sembunyi-sembunyi, atau laten itu,” ujar Abdi.

Surplus regulasi

Sesungguhnya, lanjut Abdi, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya perlindungan awak kapal perikanan dan nelayan dengan menerbitkan  11 Undang Undang, 6 Peraturan Pemerintah, 3 Perpaturan Preiden, dan 10 Peraturan Menteri.

Peraturan Menteri dimaksud terdiri dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, dan Peraturan Menteri Perhubungan. Walaupun telah memiliki banyak aturan guna melindungi pekerja perikanan, faktanya pelanggaran ketenagakerjaan masih sering terjadi dan dilaporkan.

“Jadi kurang apa coba?  Indonesia mengalami surplus regulasi dalam melindungi awak kapal perikanan dan nelayan tapi masih lemah dalam pelaksanaan di lapangan. Aturan dan regulasi sudah cukup banyak tapi seperti tidak saling menguatkan sehingga selalu ada gap dan celah terjadinya pelanggaran,” ujar Abdi.

Dia menambahkan bahwa sejauh ini pengawasan awak kapal perikanan belum diatur dan dilakukan secara nasional.

“Saat ini tercatat 576 pelabuhan perikanan yang menjadi tempat bekerja atau naik turunnya awak kapal perikanan dan nelayan dari kapal ikan yang akan dan selesai melakukan operasi penangkapan ikan,” ungkapnya.

Pihaknya di Destructive Fishing Watch DFW Indonesia, pada tahun 2022, mencatat, National Fishers Center menerima 20 aduan pelanggaran tenaga kerja yang dilaporkan oleh awak kapal perikanan dan nelayan.

Manajer National Fishers Center, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa pengaduan yang diterima oleh NFC mayoritas terkait masalah pengupahan.

“40 persen masalah yang dilaporkan terkait gaji yang tidak dibayar dan pemotongan upah, 25 persen terkait asuransi dan jaminan sosial, dan 15 persen terkait penipuan,” ungkap Imam.

Menyadari bahwa pelindungan awak kapal dan perikanan tidak semata-mata menjadi  tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah provinsi Sulawesi Utara telah membil inisiatif membentuk forum lintas stakeholder.

Hal tersebut sejalan dengan UU No/13/2002 tentang Ketenegakerjaan. Sejak tahun 2020, pemerintah provinsi Sulawesi Utara menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No 117/2020 tentang Forum Daerah Pelindungan Awak Kapal Perikanan Sulawesi Utara.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Ir Erni Tumundo, Msi mengatakan salah satu tujuan pembentukan Forum tersebut adalah untuk memastikan sinergitas program pelindungan awak kapal perikanan dan nelayan dapat berjalan optimal.

Erni menyatakan, salah satu program kerja Forum tersebut adalah melakukan inspeksi awak kapal perikanan.  “Dalam kurun waktu 2 tahun, kami telah melakukan pengawasan dan inspeksi kepada 10 kapal ikan di kota Bitung,” sebut Erni.

Kapal ikan yang diinspeki terdiri dari kapal penampung dan kapal penangkap jenis handline dan purseine dengan status kepemilikan perseorangan dan perseroan.

“Kapal ikan yang kami periksa memiliki ukuran 29-145GT dengan jumlah awak kapal yang diperiksa mencapai 270 orang,” sebutnya.

Negara bisa apa?

Dalam kesempatan terpisah, Asisten Deputi Pengelolaan Perikanan Tangkap, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Ir. Ikram Sangadji menerangkan inisiatif inspeksi awak kapal perikanan di Sulawesi Utara merupakan model pengawasan yang perlu di adopsi pada tingkat pusat.

“Inisiatif tersebut sangat baik untuk mencegah praktik kerja paksa dan ekspolitasi pekerja di kapal ikan sehingga perlu menjadi contoh dan diadopsi dengan regulasi tekmis dan lintas kementerian di nasional,” tegas Ikram.

Pihaknya telah melakukan rapat antar kementerian untuk untuk menyusun panduan inspeksi dan membentuk tim inspeksi bersama di tingkat pusat.

“Mengingat urusan perikanan tangkap melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perhubungan dan Ketenegakerjaan maka kami mendorong pembentukan tim terpadu melalui Surat Keputusan Menko Maritim,” ucap Ikram.

Terkait gagasan itu Moh. Abdi berharap agar ini dintensifkan atau didorong terus. “Situasi saat ini sangat rentan, potensi krisis ekonomi, inflasi yang tinggi berpotensi melanggengkan praktik perikanan yang tak sehat. Korbannya awak kapal perikanan kita,” pungkas Abdi.

 

 

Editor: K. Azis

 

Related posts